Saya muslim. Kadang-kadang jadi Khatib Jumat. Kadang-kadang yah bukan sering. Karena selain sering menghindar, banyak orang tidak percaya saya bisa jadi Khatib :)
Andai saja ada yang datang pada saya mengkonfirmasi berita tentang Khatib Jumat yang cabul, Ustadz yang melanggar moral dsb, maka pasti saya akan menjawab kalau fenomena itu ada. Kalau perlu saya akan menunjuk orang-orangnya. Mulai dari imam masjid tapi nilep uang infak, aktivis ormas Islam yang berzina, ustadz tapi cabul dan lain sebagainya.
Saya juga yakin teman-teman saya yang Kristen, Hindu atau Budha akan mengatakan hal sama bila ditanya hal sama. Novel Dan Brown yang menyinggung tentang penyimpangan di Vatikan atau film favorit masa kecil saya, Pendekar Rajawali Sakti, tentang biksu dan pendeta yang bersekutu dengan para penjahat, pastinya bukan pikiran liar penulis naskah semata. Tetapi itu realitas atau kritik terhadap realitas. Karena lumrah difahami bahwa film itu media kritik dan gambaran realitas sosial.
Jadi sebetulnya bila mau sedikit sabar dan jujur, orang tidak perlu marah bila ada berita tentang agamawan yang melanggar moral. Apalagi merasa punya amunisi untuk menyerang pemeluk agama lain. Karena pelanggaran moral oleh para pemuka agama, atau orang yang mengidentikan diri dekat dengan agama, sudah terjadi sejak lama. Fenomena Patrialis itu tidak baru dan hanya terjadi di Islam.
Mungkin yang menjadi pertanyaan penting, kenapa orang-orang seperti diatas bisa melanggar moral? Kenapa para pemuka agama korupsi, berzina, nilep uang sumbangan dan lain sebagainya. Pasti banyak jawaban atas pertanyaan ini.
Saya sendiri memahami karena beragama itu bukanlah proses final, tapi proses menjadi. Beragama adalah upaya terus menerus memahami perintah Tuhan dan mendekat pada Nya. Hanya saja dalam proses itu, kadang ada yang grafiknya menaik ada juga yang menurun. Seperti hikayat mashur dari dunia sufi tentang seorang agamawan yang divonis Tuhan masuk neraka. Karena diakhir hayat tanpa sadari dia mencari perlindungan pada selain Tuhan.
Bisa juga dalam graphik menaik. Minggu ini bisa jadi orang belajar pentingnya ibadah sehingga tidak alpa shalat. Tetapi minggu depan orang mungkin melupakan semuanya karena menemukan ayat bahwa amal sosial itu lebih baik ketimbang amal ritual. Tetapi minggu depan bisa jadi orang tidak melupakan keduanya. Karena keduanya ternyata bersenyawa tidak terpisahkan.
Pada kesempatan lain tahun ini mungkin kita belajar keutamaan hidup fakir sehingga tidak berhasrat meraih kelimpahan materi. Tetapi tahun berikutnya kita giat mengumpulkan harta karena agama menganjurkan mencari kekayaan. Tetapi tahun berikutnya kita juga bekerja, mencari uang sebanyak-banyaknya tanpa perlu menghilangkan pola hidup fakir. Karena Nabi Sulaiman saja bisa fakir dalam kelimpahan materi.
Nah berkaitan dengan kekeliruan, sebetulnya kalau kita buka-buka kembali hikayat nabi atau hadits-hadits dan mau sedikit teliti, ternyata sesungguhnya agama itu justru mengajarkan bahaya melakukan kekeliruan dari orang baik dan pentingnya melakukan kebaikan dari orang jahat. Hikayat Abu Lahab atau Abu Jahal tidak pernah menjadi gambaran detail dan spesifik bahaya melakukan kejahatan. Justru dari sosok seperti Umar Bin Khattab atau Ali Bin Abi Thalib lah orang belajar bahaya melakukan kejahatan.
Pada sisi lain, dari seorang Zulaikha, yang jelas-jelas mengajak Nabi Yusuf berzina, kita justru belajar pentingnya melepas hawa nafsu ketika di akhir hayatnya dia memilih hidup menempuh jalan sunyi. Lalu dari seorang perempuan pengumbar aurat kita belajar tentang ketulusan dan kasih sayang ketika dia dimasukan surga karena memberi minum seekor kucing.
Hal menarik adalah ungkapan Ibn Athaillah Al-Iskandari dalam Al-Hikamnya. Menurut Ibn Athaillah, diantara nikmat Allah yang sering tidak disadari adalah ketika Allah menutup pandangan publik terhadap kejahatan kita dan ketika diri kita ditutup Tuhan untuk melakukan kejahatan. Karena itu sebetulnya kita layak bertanya pada diri sendiri ketika kita begitu responsif mencaci pelaku kejahatan. Betulkah kita tidak pernah melakukan kecurangan?Yakinkah kita tidak akan melakukan kejahatan bila kita mempunyai posisi dan kekuasaan seperti Patrialis?
Tetapi melihat fenomena ini, sebetulnya ada hal menarik yang diungkap Quran. Utamanya (yang saya ketahui yah. Maklum jadi Khatib nya jarang :)) dalam surat Al Araf ayat 16 -17.
Iblis berkata ; Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.
Pasti ada banyak tafsir atas ayat ini. Ibnu Katsir misalnya mengatakan bahwa yang dimaksud godaan dari arah depan itu adalah godaan melupakan ingatan terhadap hari akhir. Godaan dari belakang adalah rayuan untuk fokus terhadap urusan dunia. Sementara godaan dari arah kanan adalah godaan untuk merasa berat dalam melakukan urusan agama. Sementara godaan dari kiri adalah rayuan untuk mendekati kecurangan dan kejahatan yang sudah dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu yang sangat menarik.
Quraish Shihab sendiri dalam tafsir Al-Misbahnya meringkas beberapa pandangan para ulama mengenai ayat ini. Diantaranya adalah pertanyaan sebagian Ulama tentang kenapa Allah menyebutkan godaan terhadap manusia itu hanya datang dari arah depan, belakang, kiri dan kanan. Tidak ada dari arah atas dan bawah. Hal ini menurut Quraish Shihab adalah isyarat bahwa tidak ada yang aman dari godaan setan kecuali arah atas yang menjadi lambang kehadiran Illahi dan arah bawah sebagai lambang penghambaan diri pada Allah.
Tetapi hal menarik adalah ketika Setan mengatakan akan mendatangi manusia dari segala arah, tetapi tidak pernah menyebutkan dimana posisi manusianya. Karenanya ayat ini dalam pemahaman saya menegaskan bahwasannya dimanapun kita berada, godaan itu akan tetap datang. Menjadi Khatib Jumat, Ustadz dan lain sebagainya, bukan jaminan bahwa manusia lepas dari pendekatan setan. Bahkan mungkin semakin intens. Karenanya tidak aneh bila seorang Nabi Muhammad, yang jelas-jelas makshum, tidak pernah lepas beristighfar 70 kali dalam sehari.
Karenanya bila orang memang peduli dan percaya terhadap Agama, maka respon awal berita Patrialis adalah beristighfar, meminta perlindungan Tuhan. Karena siapapun bisa seperti Patrialis. Bahkan jangan-jangan kita tidak melakukan itu karena kita tidak pernah punya kesempatan. Isnt it?
Adapun ketika ada orang yang memanfaatkan peristiwa ini untuk menyerang symbol-symbol keagamaan, bahkan melecehkan agama itu sendiri demi sebuah pandangan politik, itu hanya menegaskan siapa sesungguhnya yang suka mempolitisasi agama.
Note:
Tulisan ini tentang perspektif agama yah. Kalau perspektif politis dari peristiwa Patrialis, tentunya berbeda dan tidak se simple ini. Semoga besok tulisannya bisa beres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H