Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Urgensi Perpustakaan Kongres

2 April 2016   20:08 Diperbarui: 2 April 2016   20:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berikut ini adalah artikel saya di HU Republika tentang Perpustakaan Kongres.

Saya sendiri memandang Perpustakaan Kongres adalah hal yang perlu. Dengan segala dalil yang saya tuangkan dalam artikel berikut ini. Berikut lengkap nya

 

http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/04/02/o505tv1-urgensi-perpustakaan-kongres

 

Urgensi Perpustakaan Kongres

Sabtu, 02 April 2016, 17:44 WIB

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Membuka diskusi urgensi membangun perpustakaan kongres, ada baiknya kita mengingat kembali wanti-wanti seorang resi Mahatma Gandhi yang dirujuk banyak kalangan. Menurut Gandhi, ada tujuh dosa sosial yang akan meluluhlantakkan kehidupan masyarakat.

Ketujuh dosa sosial itu adalah kekayaan tanpa kerja, kesenangan tanpa suara hati, pengetahuan tanpa karakter, perniagaan tanpa moralitas, pengetahuan tanpa kemanu siaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.

Berkaitan dengan politisi, bagi Gandhi, masalahnya bukan apa afiliasi ideologi politiknya, melainkan bagaimana perilaku politiknya. Berprinsipkah atau tidak. Prinsip politik adalah semua aktivitas mesti mematuhi koridor hukum dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk memperkaya diri. Karenanya, apa pun afiliasi ideolog politiknya, yang harus diyakinkan itu hal sederhana: apakah dia mencuri uang negara?

Sekarang ini sejatinya orang tidak perlu khawatir terhadap politisi yang haluan politiknya berbeda secara diametral. Karena dalam sistem politik terbuka, sayap kiri tidak akan menjadi dominan selama sayap kanan diberi kesempatan sama.

Bila sistem terbuka ini tetap dijaga, masyarakatlah yang akan diuntungkan. Karena, akan terjadi saling koreksi yang bila dilakukan secara fairdan konstitusional, akan menuju titik ekuilibrium. Negara tidak akan terlalu ke kiri atau ke kanan. Dia akan terus berada di tengah untuk semua golongan.

Inilah tugas terberat dan terbesar politisi. Menjalankan dan menjaga prinsip politik. Dalam praktiknya, aktivitas ini mewujud dalam lobi, negosiasi politik dalam mengambil kebijakan publik. Hal yang tidak mudah dan tidak bisa diselesaikan dalam hitungan bulan. Lobi dan negosiasi politik selalu menguras stamina, pikiran, dan waktu. Terlebih dalam kultur politik Indonesia di mana afiliasi politiknya tidak hitam-putih kiri- kanan. Selalu ada variannya.

Demi fokus menjalankan fungsi dan perannya, para politisi mesti mendapat support memadai secara teknis maupun konseptual. Karenanya, gedung DPR selain terdiri dari para politisi, juga diisi para administrator, sekretariat jenderal, dan tenaga ahli.

Sekretariat Jenderal DPR adalah support sistem teknis dan administratif. Mereka para abdi negara, PNS, yang bertugas menjalankan administrasi teknis di parlemen sesuai dengan administrasi negara yang berlaku. Sementara, tenaga ahli adalah orang yang bertugas memberikan masukan konseptual yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Berkaitan dengan fungsi parlemen, konstitusi kita menyatakan bila DPR adalah lembaga tinggi negara yang berfungsi menetapkan anggaran negara, pengawasan, dan legislasi.
Bila dikaitkan dengan prinsip politisi, supportsistem terhadap DPR dan fungsi DPR, maka di sinilah letak urgensi Perpustakaan Kongres.

Perpustakaan memang bukan ruang lobi atau negosiasi yang menjadi kebutuhan para politisi, melainkan perpustakaan adalah gua garba informasi tempat para tenaga ahli berjibaku mencari dan menggodok informasi untuk memberikan pasokan konsep memadai bagi para politisi. Perpustakaan adalah da pur di mana konsep kebijakan publik disu - sun dan dipikirkan.

Bila kita cermati, berkali-kali pimpinan DPR selalu membandingkan perpustakaan Senayan yang ada sekarang dengan Congress Library di Amerika. Hal yang bisa dipahami.
Karena, pada dasarnya konsep perpustakaan dan supportsistem anggota parlemen kita ingin mengadopsi Kongres Amerika.

Gedung parlemen Amerika selain mendapat supportsistem yang efektif dan efisien, juga mendapat supporttenaga ahli yang capable. Mereka bukan hanya terdiri dari para mahasiswa Ilmu Hukum yang sedang magang, tetapi juga para doktor yang pakar di bidangnya. Merekalah yang bahu membahu memberi supportkonseptual, yang bisa di pertanggungjawabkan secara akademik, bagi para anggota parlemen dalam menjalan - kan fungsi legislasinya.

Karenanya, ketika muncul ide Rancangan Undang-Undang (RUU) baru, gedung parlemen tidak hanya disibukan dengan lobi dan negosiasi politisi, tapi juga hilir mudik para doktor ke Perpustakaan Kongres sambil menenteng babon-babon (buku-buku tebal klasik) untuk mencari rujukan ilmiah atau memverifikasi argumentasi yang mereka susun.

Karenanya, pertarungan sebuah RUU di Amerika selalu hadir dengan argumentasi yang mapan karena masing-masing berpendapat lengkap dengan rujukan ilmiahnya. Ini yang belum terjadi di Indonesia. Para politisi kita sering dihujat publik karena pembicaraannya dianggap tidak bermutu.

Lalu, apakah dengan Perpustakaan Kongres kualitas DPR akan meningkat? Bila urgensi Perpustakaan Kongres adalah hasil perbandingan dengan Kongres Amerika, dengan membandingkannya kembali, kita akan menemukan banyak celah kosong yang mesti diperbaiki.

Misalnya saja di kongres Amerika, tenaga Ahli yang terlibat adalah para Soktor. Lalu, apakah para Soktor yang kita miliki tertarik berjibaku di Senayan memperbaiki fungsi- fungsi parlemen dengan menjadi tenaga ahli?

Inilah permasalahan yang mesti diselesaikan secara paralel dengan pembangunan Perpustakaan Kongres. Bagaimana kapasitas para tenaga ahli dan sistem kepegawaian yang melingkupi mereka. Apakah ada sistem pendidikan dan pelatihan yang terencana untuk menaikkan kapasitas mereka? Bagai mana dengan remunerasi dan lainnya?

Respons masyarakat, seperti yang sudah diprediksi, banyak yang menolak ide ini. Penolakan yang bisa dipahami. Selain karena citra partai politik dan politisi yang sangat buruk, dalam banyak hal publik juga sering lupa dengan fungsi parlemen.

Karena dunia politik kita lebih banyak dipenuhi berita politisi tertangkap tangan korupsi atau tertangkap basah selingkuh. Orang lebih banyak bergosip politik daripada diskusi politik.

Namun, hal ini tidak menjadi dominasi masyarakat. Elite politik pun sering mengaburkan fungsi-fungsi ini dalam komunikasi politiknya. Misalnya saja, beberapa waktu lalu saat Presiden mengkritik DPR karena dianggap terlalu banyak memproduksi UU.

Menurut Presiden, tiga sampai lima UU dalam setahun itu cukup asal kualitasnya baik. Banyak kalangan kebingungan mendengar ini. Apakah ini gimmick politik demi mendapat applaus publik, kekeliruan pasokan informasi dari para penasihat Presiden atau memang improvisasi Presiden yang sayangnya tidak berdasar data.

Sebagaimana diketahui, kinerja legislasi DPR selalu kedodoran. Akhir tahun lalu, DPR banyak dihujat karena hanya bisa mengesahkan 12 RUU dari 39 RUU yang masuk Prolegnas. Porsi RUU inisiatif murni pemerintah sangatlah besar.

Dalam daftar Prolegnas Prioritas 2016, dari 40 RUU yang masuk daftar, setengahnya adalah inisiatif pemerintah, dengan empat di an taranya inisiatif bersama. Dalam daftar Prolegnas 2015-2019, dari 161 yang masuk daftar, 48 persen adalah RUU inisiatif pemerintah.

Bisa dipahami mengapa masyarakat pun ba nyak lupa fungsi DPR karena elite politiknya pun sering mengaburkan, termasuk anggota DPR itu sendiri. Banyak yang meng kritik lembaganya sendiri hanya untuk mendapat standing applaus publik.

Kembali ke Perpustakaan Kongres. Meskipun secara teknis ide ini layak dibangun, tetapi secara sosial ide ini mendapat penolakan. Dalam kondisi seperti ini, DPR mesti memikirkan ulang cara sosialisasi.

Pimpinan DPR tidak lagi hanya bisa mengandalkan statementatau wawancara doorstop.

Lebih dari itu, perlu ada pertemuan lebih detail dan strategi sosialiasi yang lebih mendalam sehingga publik bisa memahami.

DELIANUR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun