Namun, apa yang ingin saya tekankan adalah realitas historis tentang perjuangan Sayu Wiwit yang berlangsung pada abad ke-18 menegaskan bahwa jauh sebelum feminisme berkembang di tanah air atau bahkan ketika masih banyak para perempuan Eropa dikekang oleh kode moralitas, di ujung timur Jawa, tokoh perempuan telah memimpin perjuangan melawan penjajah kulit putih.
Bahwa untuk mendapatkan konsep keteladanan dalam perjuangan kesetaraan, sejatinya, wilayah Nusantara memiliki banyak tokoh yang patut dijadikan acuan. Salah satunya adalah Sayu Wiwit. Di sinilah saya harus mengapresiasi pilihan cerdas dari para kreator untuk mengangkat kisah heroik Sayu Wiwit dan rakyat Blambangan dalam sendratari.Â
Setidaknya, mereka berusaha mengingatkan para mahasiswa Gen-Z bahwa ada cerita, legenda, ataupun peristiwa sejarah yang bisa diolah secara kreatif sebagai sebuah sajian yang bisa menghadirkan hiburan sekaligus konstruksi wacana atau ideologi kesetaraan.
Kalaupun ada celah yang masih bisa dieksplorasi lagi adalah mengurangi kemonotonan struktur pertunjukan. Karena keinginan untuk menyebarluaskan wacana perjuangan tokoh perempuan, sendratari ini didominasi adegan-adegan heroik. Tentu bukan sebuah kesalahan karena ada alasan untuk menyampaikan kehebatan Sayu Wiwit.Â
Namun, perlu dipikirkan untuk menghadirkan adegan pembeda yang bisa dinalar. Misalnya, eksplorasi kesedihan ketika Sayu Wiwit harus kehilangan rekan-rekannya atau ketika ia sedang merasakan getaran-getaran cinta di tengah-tengah perjuangan. Eksplorasi tersebut bukanlah suatu kesalahan, alih-alih akan menghadirkan sosok Sayu Wiwit dalam sendratari secara manusiawi.
Selain itu, memperkaya gerakan tari dengan gerakan-gerakan yang tidak melulu bernuansa tradisional mungkin perlu dicoba. Berakar pada tradisi tari Banyuwangi, khususnya gandrung, memang bisa memperkuat aura dan atmosfer pertunjukan. Namun, tidak ada salahnya kalau memasukkan gerakan tari kontemporer untuk menjadikan pertunjukan lebih kaya secara koreografis serta mempermudah memasukkan makna atau wacana tertentu.
Maka, bagi saya, sendratari Sayu Wiwit ini masih memungkinkan untuk dipentaskan kembali dalam event-event yang lebih besar, baik di dalam maupun di luar Universitas Jember. Tentu, para kreator tidak boleh bermalas-malasan untuk melakukan riset tambahan sebagai basis untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan kreatif  yang bisa menjadikan pertunjukan lebih menarik dan berenergi.
Rujukan
Wirabhumi, Aji. 2017a. Perjuangan Sayu Wiwit dan Jagalara. https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/155236/perjuangan-sayu-wiwit-dan-jagalara.Â
Wirabhumi, Aji. 2017b. Sayembara Menangkap Sayu Wiwit. https://timesindonesia.co.id/kopi-times/163696/sayembara-menangkap-sayu-wiwit-.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H