Seorang penari perempuan berpakaian merah diikuti beberapa penari laki-laki melakukan gerakan tari dengan gagah. Di hadapan mereka seorang komandan tentara VOC ditemani tentara bayaran dari kalangan pribumi. Mereka pun bertempur, berusaha untuk saling mengalahkan.
Begitulah adegan pembuka pertunjukan sendratari Sayu Wiwit yang digelar Dewan Kesenian Kampus (DKK) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (UNEJ) di Gedung Soetardjo, Sabtu, 9/09/23. Pertunjukan ini dihadiri sekira 500 penonton dari kalangan mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum. Selain itu, para penggiat seni mahasiswa dari perguruan tinggi lain di Jember juga terlibat dalam gelaran ini.
Berdurasi sekira tiga puluh menit, para penari mampu menyuguhkan kolaborasi aspek dramatik, tari, dan musik berbasis sejarah heroisme perempuan pahlawan dari Blambangan (kini Banyuwangi) di era kolonial. Keberanian untuk menggarap tema sejarah perempuan tanpa meninggalkan estetika lokal, seperti komposisi tari dan musik yang kental dengan nuansa Banyuwangi, menjadi keunggulan kreatif dari sendratari Sayu Wiwit.
Menurut Wirabhumi (2017a), salah satu capaian besar Sayu Wiwit adalah bersama-sama dengan Mas Ayu Prabu, Mas Surawijaya, dan Senopati Sindhu Bromo berhasil membebaskan Puger, Jember, dan Sentong (kini Bondowoso) dari cengkraman VOC. Sayu Wiwit (Susuhunan Ratu Gunung Raung) dan pasukannya memilih terlibat perang Blambangan melawan VOC di ujung timur Jawa, 1771 - 1774.
Dalam catatan Wirabhumi (2017b), perang ini merupakan perang semesta yang melibatkan puluhan ribu prajurit dari kedua belah pihak dan menelan biaya sangat besar. Ratusan ribu prajurit dari kedua belah pihak tewas. Sekira 72.000 prajurit Blambangan dan 1.600 prajurit Bali pro-Blambangan tewas. Dari pihak Belanda, sekira 77.262 serdadu pribumi dan 3.032 tentara tewas. Entah berapa puluh ribu rakyat yang menjadi korban perang dahsyat ini.
Dalam perang besar ini, kepemimpinan Sayu Wiwit dan Mas Rempeg Jagapati benar-benar berdampak destruktif bagi pihak penjajah. Sampai-sampai mereka membuat sayembara untuk menangkap atau membawa kepala Masayu Wiwit.
Ini menegaskan betapa pentingnya peran Sayu Wiwit dalam menggelorakan semangat pasukan Blambangan sehingga mereka berani berperang habis-habisan. Meskipun pada akhirnya Sayu Wiwit berhasil dibunuh dan pasukan Blambangan kalah dalam menghadapi gempuran tentara VOC, nama perempuan pejuang ini masih sangat dihormati hingga kini.
Tentu, menghadapi teks sejarah Sayu Wiwit yang terhampar luas dengan kompleksitasnya, tim kreatif pertunjukan harus memutuskan peristiwa atau aspek apa yang harus ditonjolkan dalam garapan kreatif. Tidak mungkin semua bagian dari sejarah tersebut harus dihadirkan. Karena akan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan, kalau tidak hati-hati, bisa membosankan.
Rupa-rupanya, tim kreatif pertunjukan ini memilih untuk menggarap cerita kemenangan Sayu Wiwit dalam membebaskan Jember, Puger, dan Sentong dari kuasa VOC. Mereka tidak memilih kekalahan Sayu Wiwit dan pasukan Blambangan.
Salah satu alasan yang dikemukakan adalah tim kreatif ingin mempersembahkan pertunjukan yang mengusung “energi kepahlawanan dan perjuangan perempuan” dalam menghadapi kekuatan dominan-eksploitatif.
Pilihan tersebut berimplikasi kepada sajian pertunjukan yang lebih mengutamakan gerakan dramatik dan tari berwarna dengan iringan musik gamelan Banyuwangi yang rancak, dinamis, dan penuh semangat. Dari sekian banyak adegan, menurut saya ada beberapa adegan yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut.
Pertama, ketika Sayu Wiwit dalam adegan pertama melakukan gerakan tari, memimpin prajurit laki-laki untuk bertempur melawan tentara kolonial.
Sejak awal pertunjukan ini sejatinya berusaha mengajak penonton untuk menempatkan Sayu Wiwit, perempuan pejuang sebagai subjek yang tidak mau hanya diam di tengah-tengah gejolak perlawanan para pemimpin, prajurit, dan rakyat Blambangan. Bagi Sayu Wiwit, perempuan bukan hanya subjek yang harus merawat tubuh dan menjaga perilakunya dengan kelemah-lembutan.
Gerakan tari gagah serta pilihan pakaian prajurit dan senjata keris yang ia pegang dan mainkan mengkonstruksi sosok yang berani mengambil keputusan. Alih-alih, menikmati semua kemapanan yang ia dapatkan sebagai penguasa di kawasan Raung, Sayu Wiwit berani membuat keputusan yang melibatkan dirinya dalam perang semesta Blambangan.
Pilihan ini tentu rasional karena kalaupun ia memilih tidak ikut berperang, tidak ada jaminan kalau Belanda tidak akan menguasai wilayahnya. Maka, dengan gagah berani, bermodal kekuatan prajurit dan kepemimpinan kharismatiknya, Sayu Wiwit bertarung melawan tentara penjajah yang mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat di ujung timur Jawa.
Ketika usaha pertama belum berhasil, maka Sayu Wiwit dan para pemimpin lainnya tidak putus asa. Mereka tetap berusaha untuk memperkuat pasukan dan membangun kesadaran rakyat agar tidak berpangku tangan dalam perjuangan melawan penjajah.
Sebuah adegan menghadirkan Sayu Wiwit dan beberapa prajurit perempuan menari bersama dengan riang gembira sembari mengacungkan senjata mereka. Saya membaca adegan ini sebagai proses untuk mematangkan dan memperkuat kemampuan prajurit perempuan Blambangan yang terlibat aktif dalam peperangan.
Saya belum menemukan data historis terkait keberadaan prajurit perempuan di bawah kepemimpinan Sayu Wiwit. Kalaupun mereka tidak pernah ada dalam sejarah perjuangan Blambangan, tidak menjadi masalah karena pertunjukan sendratari ini merupakan karya kreatif yang berangkat dari tafsir teks sejarah.
Prinsipnya, sebagai karya seni, pertunjukan Sayu Wiwit bukanlah teks sejarah itu sendiri, meskipun kita masih bisa menemukan rangkaian gerak tari dan dramatik yang menghubungkannya dengan sejarah.
Para kreator muda memiliki kebebasan untuk menghadirkan atau menambahkan adegan tari atau dramatik yang sekiranya bisa mendukung konstruksi wacana ataupun ideologi yang mereka inginkan. Artinya, teks sejarah ataupun teks-teks lain yang mungkin disakralkan dan dihormati bisa mendapatkan “investasi makna” yang relatif baru.
Demikian pula ketika kreator sendratari ini menampilkan adegan prajurit perempuan menari sebagai tanda proses latihan perang bersama prajurit laki-laki di kawasan keraton. Saya membacanya sebagai representasi tentang partisipasi dan kontribusi penting prajurit perempuan dan perempuan Blambangan dalam menghadapi masalah genting yang melanda kerajaan dan masyarakat.
Adegan lain yang menarik dicermati adalah terbunuhnya pemimpin laki-laki, terbunuh dalam pertempuran dengan tentara VOC. Sebelum meninggal, si tokoh laki-laki berpesan kepada Sayu Wiwit untuk memimpin prajurit, meneruskan perjuangan melawan penjajah.
Wasiat ini menegaskan bahwa Sayu Wiwit memiliki kapasitas kepemimpinan yang dibutuhkan para prajurit dalam menghadapi serbuan tentara kolonial. Kombinasi kecakapan dalam berperang serta kemampuan mengatur prajurit dan rakyat menjadi modal politik dan modal kultural untuk terus menggelorakan semangat perjuangan.
Dalam adegan klimaks ketika Sayu Wiwit dan prajuritnya harus melawan tentara VOC yang mayoritas merupakan warga pribumi, peperangan besar pun tak dapat dihindari. Dalam perang tersebut, Sayu Wiwit berhasil membunuh banyak tentara penjajah. Ia dan para perempuan prajurit dengan gagah berani menghadapi para tentara kolonial demi menegakkan supremasi Blambangan.
Demi merayakan kemenangan, para prajurit menaikkan tubuh Sayu Wiwit ke paha dan pundak prajurit laki-laki, sebuah tanda kekuasaan perempuan yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup kerajaan dan masyarakatnya.
Pilihan atas adegan ini merupakan upaya kreatif untuk mengkonstruksi kepentingan ideologis bahwa para perempuan Blambangan dengan kecakapan mereka mampu menjadi penentu dalam kepemimpinan, khususnya dalam fase krusial ketika harus menghadapi kekuatan asing.
Memang, bagi penonton yang mayoritas adalah mahasiswa, bisa jadi banyak di antara mereka yang berusaha membaca pertunjukan ini dengan perspektif feminisme liberal yang menempatkan perjuangan perempuan sebagai subjek yang memperjuangkan kesetaraan. Tentu hal itu sah-sah saja karena perkembangan pengetahuan feminis di ruang akademis kampus bisa jadi mempengaruhi sudut pandang para penonton.
Namun, apa yang ingin saya tekankan adalah realitas historis tentang perjuangan Sayu Wiwit yang berlangsung pada abad ke-18 menegaskan bahwa jauh sebelum feminisme berkembang di tanah air atau bahkan ketika masih banyak para perempuan Eropa dikekang oleh kode moralitas, di ujung timur Jawa, tokoh perempuan telah memimpin perjuangan melawan penjajah kulit putih.
Bahwa untuk mendapatkan konsep keteladanan dalam perjuangan kesetaraan, sejatinya, wilayah Nusantara memiliki banyak tokoh yang patut dijadikan acuan. Salah satunya adalah Sayu Wiwit. Di sinilah saya harus mengapresiasi pilihan cerdas dari para kreator untuk mengangkat kisah heroik Sayu Wiwit dan rakyat Blambangan dalam sendratari.
Kalaupun ada celah yang masih bisa dieksplorasi lagi adalah mengurangi kemonotonan struktur pertunjukan. Karena keinginan untuk menyebarluaskan wacana perjuangan tokoh perempuan, sendratari ini didominasi adegan-adegan heroik. Tentu bukan sebuah kesalahan karena ada alasan untuk menyampaikan kehebatan Sayu Wiwit.
Namun, perlu dipikirkan untuk menghadirkan adegan pembeda yang bisa dinalar. Misalnya, eksplorasi kesedihan ketika Sayu Wiwit harus kehilangan rekan-rekannya atau ketika ia sedang merasakan getaran-getaran cinta di tengah-tengah perjuangan. Eksplorasi tersebut bukanlah suatu kesalahan, alih-alih akan menghadirkan sosok Sayu Wiwit dalam sendratari secara manusiawi.
Selain itu, memperkaya gerakan tari dengan gerakan-gerakan yang tidak melulu bernuansa tradisional mungkin perlu dicoba. Berakar pada tradisi tari Banyuwangi, khususnya gandrung, memang bisa memperkuat aura dan atmosfer pertunjukan. Namun, tidak ada salahnya kalau memasukkan gerakan tari kontemporer untuk menjadikan pertunjukan lebih kaya secara koreografis serta mempermudah memasukkan makna atau wacana tertentu.
Maka, bagi saya, sendratari Sayu Wiwit ini masih memungkinkan untuk dipentaskan kembali dalam event-event yang lebih besar, baik di dalam maupun di luar Universitas Jember. Tentu, para kreator tidak boleh bermalas-malasan untuk melakukan riset tambahan sebagai basis untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan kreatif yang bisa menjadikan pertunjukan lebih menarik dan berenergi.
Rujukan
Wirabhumi, Aji. 2017a. Perjuangan Sayu Wiwit dan Jagalara. https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/155236/perjuangan-sayu-wiwit-dan-jagalara.
Wirabhumi, Aji. 2017b. Sayembara Menangkap Sayu Wiwit. https://timesindonesia.co.id/kopi-times/163696/sayembara-menangkap-sayu-wiwit-.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI