Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sandur Klungkung: Ritual Keselamatan dari Kaki Gunung

23 Juli 2023   16:17 Diperbarui: 24 Juli 2023   11:11 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdiri sambil bergandengan tangan, para pelaku sandur khidmat melantunkan tembang. Dokumentasi pribadi

Membaca Sandur Klungkung

Dari penelusuran literatur tentang Sandur di atas, saya menyimpulkan bahwa Sandur di Klungkung merupakan seni yang digunakan untuk kepentingan ritual. Baik pepujian dan model gerakan tari sederhana yang dimainkan di buju' Taka memiliki kemiripan dengan Sandur Pantel yang berkembang di kawasan Sumenep dan Sampang, bukan Sandur Bangkalan. 

Fungsinya pun untuk kepentingan rokat (ruwatan) dengan tujuan menghormati leluhur dan memohon kepada Sang Pencipta agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan serta tolak bala', dihindarkan dari bencana, malapetaka, dan pagebluk (wabah).

Para ibu muda pun membawa balita mereka ke lokasi Sandur Klungkung. Dokumentasi penulis
Para ibu muda pun membawa balita mereka ke lokasi Sandur Klungkung. Dokumentasi penulis

Meskipun belum ada data tertulis yang ditemukan terkait asal-muasal Sandur di Klungkung, dari karakteristik dan komunitas pelakunya, saya bisa mengatakan seni ritual ini dikembangkan oleh para migran Madura yang datang ke kawasan Jember pada era kolonial. 

Ketika para pekebun swasta Belanda membuka banyak perkebunan, termasuk di kawasan Klungkung dan sekitarnya, para migran didatangkan untuk keperluan tenaga kerja. Para tenaga kerja yang kemudian bermukim di kawasan perkebunan dan sekitarnya itulah yang menghidupkan tradisi Sandur.

Karena warga Madura  hidup di kawasan baru yang penuh tantangan alam dan situasi yang berbeda dari kampung halaman, mereka harus melakukan adaptasi dan bersiasat ketika terjadi sesuatu yang membahayakan atau mengganggu kehidupan mereka. Lingkungan alam berupa pegunungan, jurang, sungai, dan hutan bisa menghadirkan ancaman bagi warga. 

Para mahasiswa KKN ikut bergandengan tangan sembari menikmati Sandur Klungkung. Dokumentasi pribadi
Para mahasiswa KKN ikut bergandengan tangan sembari menikmati Sandur Klungkung. Dokumentasi pribadi

Begitupula kemungkinan datangnya penyakit yang membahayakan nyawa mereka. Sebagai pendatang yang masih membawa ingatan tentang tradisi yang ada di Madura. Salah satu yang mereka ingat adalah tradisi Sandur, sehingga mereka menggelarnya sebagai upaya untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk atau ketika ada gangguan terhadap kehidupan warga.

Dari sini, kita bisa melihat upaya kultural untuk mengingat, memindahkan, dan mempraktikkan ritual leluhur di tanah Madura dalam suasana dan lingkungan yang berbeda, tetapi keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan tetap dipertahankan. 

Namun, karena keterbatasan fasilitas di wilayah baru, para pendahulu Sandur harus melakukan perubahan bentuk atau model pertunjukan agar tetap bisa menggelarnya tanpa menghilangkan tujuan baiknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun