Ekstraktivisme total merupakan dorongan yang tak terpuaskan yang mendorong tekno-kapitalisme global untuk mengonsumsi dan mencakup semua kehidupan, termasuk sumberdaya alam dan sumberdaya mineral. Â
Sementara, Petras & Veltmeyer (dikutip dalam Chagnon, et al, 2017: 766) Â memberikan kritik kunci terhadap neo-ekstraksi di Amerika Latin. Mereka berargumen bahwa alih-alih menjadi model pembangunan sosial yang berkelanjutan dan setara, hal itu digembar-gemborkan sebagai, neo-ekstraktif terus memperkuat jalur ketergantungan lama dan menunjukkan bentuk predator kapitalisme dan imperialisme.Â
Di Brazil, neo-ekstraktivisme disebut neo-developmentalism dan dipuji selama berkuasanya Presiden Lula oleh banyak kalangan Kiri sebagai strategi negara yang berhasil, terutama di tengah krisis keuangan global pasca-2008.Â
Namun, hal ini juga dikritik karena menciptakan lebih banyak kekuatan bagi perusahaan ekstraktif besar untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi  yang hasilnya dapat dilihat pada kebangkitan populisme otoriter (pedesaan) di Brasil.Â
Kritik yang lebih baru ditawarkan, misalnya oleh Andrade (dikutip dalam Chagnon, et al, 2017: 766), yang dalam konteks Brasil, ekspansi dan reproduksi akumulasi berbasis sumber daya dalam bentuk neo-ekstraksi telah memperkuat degradasi negara dan masyarakat secara sistematis untuk menguntungkan aktor pencari rente dan keuntungan modal, seperti korporasi.
Kajian kritis terbaru lainnya tentang ekstraktivisme dan neo-ekstraktivisme juga berfokus pada persoalan gender dan kehidupan pribumi dalam hubungannya dengan operasi ekstraktif. Para peneliti geografi manusia sudah melakukan kajian kritis terkait bagaimana perempuan pribumi di wilayah Amerika Latin mengorganisir diri untuk melawan praktik industri ekstraktif yang mencemari air sungai sebagai sumber kehidupan mereka (Caretta, et al, 2020; Caretta & Zaragocin, 2020).Â
Komunitas pribumi/lokal merupakan simbol dari banyak masalah, konflik, kekerasan, dan perlawanan yang telah diciptakan oleh neo-ekstraktivisme sebagai model mental yang berkembang. Mobilisasi masyarakat pribumi telah meluas sejak era neo-ekstraktivis, mengarah ke studi tentang penentuan nasib sendiri masyarakat adat, peran, hak, dan dan hubungannya dengan narasi negara.Â
Di Bangladesh, komunitas lokal berhasil mengorganisir diri mereka serta membangun koneksi dengan NGO di tingkat nasional dan transnasional berbasis prinsip setara dan reriprokal untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap industri ekstraktif berupa pertambangan terbuka (Luthfa, 2017).Â
Tentu bukan persoalan mudah membangun kerjasama strategis dan praksis lintas komunitas dan lintas organisasi, apalagi melibatkan organisasi transnasional. Namun, kepentingan untuk menyelamatkan kehidupan dan lingkungan alam sebagai ekosistem terbukti mampu mewujudkan kerjasama untuk melawan industri ekstraktif yang merusak.
Kajian semacam ini bisa pula menjadi ranah para peneliti kajian budaya, dampak industri ekstraktif terhadap kehidupan sehari-hari perempuan dan laki-laki serta warga pribumi secara umum, termasuk bagaimana mereka menyikapinya.Â
Tentu, para peneliti kajian budaya bisa memasukkan aspek yang lebih spesifik, seperti terkait bagaimana keberadaan ekstraktivisme sebagai pengetahuan/rezim kebenaran dikonstruksi dalam banyak wacana dan media, Â ketidakadilan relasi kuasa yang dilegitimasi negara serta dampaknya terhadap masyarakat lokal, narasi perlawanan masyarakat dan upaya negara melindungi pemodal, usaha pemodal untuk menghegemoni masyarakat dengan menawarkan fasilitas, dan yang lain.