Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Globalisasi dan Kontestasi Strategis Masyarakat Lokal: Pengalaman Tengger

27 Mei 2023   08:47 Diperbarui: 29 Mei 2023   00:08 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarian dalam Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger. (Shutterstock/Syamhari photography via Kompas.com) 

Apakah mungkin melawan globalisasi? Tidak mungkin menggunakan perspektif tunggal untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena kondisi kontemporer di seluruh dunia menunjukkan berbagai tanggapan yang berbeda terhadap globalisasi, baik menerima, menolak, maupun melakukan negosiasi dengan bermain “di antara ruang,” antara modernitas dan lokalitas.  

Karena kondisi demikian, globalisasi sebagai sebuah istilah menjadi wacana yang banyak diperdebatkan, baik secara kualitas maupun kuantitas, di mana banyak akademisi dari berbagai disiplin ilmu mengeksplorasi kerangka konseptualnya ke dalam pemahaman yang kompleks dengan sudut pandang dan titik keberangkatan yang berbeda. 

Namun, dalam kecenderungan umum dan populer, banyak pemikir yang menganalisis globalisasi melalui perspektif ekonomi, politik, dan budaya/media. 

Dalam perspektif ekonomi, globalisasi dipahami sebagai aliran modal yang sangat besar dari “negara-negara poros” seperti AS, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Kanada, dan, yang terakhir, China, ke negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga. 

Adapun aliran modal tersebut yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan lembaga internasional, seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia, dari mana sistem dan praktik ekonomi homogen yang bercirikan perspektif neoliberal muncul sebagai standar internasional dan menciptakan interkoneksi antar negara (Steger, 2006: 38-40). 

Banyak pembela pandangan ini meyakini bahwa globalisasi ekonomi dari mana negara-negara maju akan membuka kebijakan ekonomi mereka kepada perusahaan transnasional dan menekankan peran lembaga keuangan internasional untuk membuat kondisi ekonomi di negara berkembang tumbuh lebih cepat dan akan mengurangi kemiskinan secara efektif dan memberi banyak manfaat (Edwards, 2007: 262-263; Stallings, 2007: 214).

Dalam sudut pandang politik, sistem politik demokrasi-neoliberal menjadi model hegemonik sebagai efek globalisasi di mana negara-negara maju karena kepentingan ekonomi dan politik mereka mendorong negara-negara berkembang mengadopsi neoliberalisme, sistem ekonomi politik berbasis hukum pasar. 

Mengikuti sistem tersebut, sebagian besar negara menjalankan praktik pemerintahannya, terutama dalam ekonomi politik, dengan perhatian dominan pada sistem demokrasi dan model kapitalis/neoliberal yang diidealisasi menjanjikan kemajuan dan stabilitas ekonomi sebagai standar terpenting. 

Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah negara berkembang diharapkan bisa memperkuat kompetisi pasar dan membuka peluang bagi investasi internasional melalui perusahaan transnasional sebagai aktor globalisasi dengan janji-janji kesejahteraan (Kien, 2004: 473-477). 

Selain itu, kebijakan negara diarahkan kepada model tekno-kapitalisme sebagai sintesis yang lebih tinggi antara kapitalis dan kemajuan teknologi dalam struktur sosial kontemporer yang menekankan pada peran dominan teknologi dan hubungan kapital yang semakin kompleks dalam masyarakat. 

Struktur pemerintahan dengan demikian masih berada dalam determinasi pemodal dengan fokus pada produksi dan akumulasi kapital dan akibatnya kapitalis masih mendominasi proses produksi, distribusi, dan konsumsi. 

Namun demikian, dalam perspektif politik, globalisasi juga akan mencapai “tatanan dunia baru” yang ditandai dengan munculnya kerjasama internasional yang lebih baru di antara negara-negara yang berorientasi demokrasi dalam pemerintahan sebagai produk “demokratisasi globalisasi” dan “globalisasi demokrasi” yang diidealisasi sebagai solusi dalam memulihkan berbagai masalah yang dialami masing-masing negara (Gills, 2002: 164-171).

Isu paling kompleks berikutnya tentang globalisasi datang dari sudut pandang budaya/media. Seiring dengan berkembangnya globalisasi di bidang ekonomi dan politik, perkembangan budaya secara global umumnya dianggap homogen.

Sebagian besar negara sekarang mengadaptasi dan mentransformasikan produk industri-budaya modern dari negara-negara maju dengan korporasi medianya ke dalam produk budaya di tingkat nasional. 

Dalam konteks ini, “kebudayaan global”, atau dalam istilah lain dapat disebut “kebudayaan dunia” adalah kondisi kebudayaan kontemporer di mana orang-orang di seluruh dunia memiliki kecenderungan dan preferensi yang sama dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi produk-produk budaya yang berasal dari negara maju serta lebih menguntungkan media-kapitalis dan mengarah pada imperialisme budaya.

Tesis imperialisme budaya menyatakan bahwa aliran produk dan layanan media satu arah dari negara-negara industri maju ke negara-negara Dunia Ketiga merusak budaya, moral, dan nilai-nilai nasional mereka. Pendukung tesis ini melihat ketidakseimbangan arus budaya global sebagai perpanjangan dari struktur dominasi dan subordinasi, yang sudah terlihat jelas di bidang politik dan ekonomi. 

Argumen sentral dari tesis imperialisme budaya adalah bahwa dominasi budaya negara-negara maju dibangun dan diperkuat lewa penyebarannya melalui media massa dan banyak situs hiburan. Oleh karena itu, terciptalah penyesuaian budaya di tingkat nasional dengan budaya dominan dari negara-negara maju. 

Proses ini mengarah pada perusakan, penggantian, dan, bahkan, hilangnya budaya asli negara penerima. Globalisasi adalah sejauh mana budaya di seluruh dunia menjadi serupa. Oleh karena itu, globalisasi seperti itu dilihat sebagai sesuatu yang sejalan dengan sejarah imperialisme Barat. 

Di bidang budaya, globalisasi ini mengarah pada meningkatnya hegemoni budaya sentral tertentu yang membawa semua budaya lain ke dalam ruang lingkupnya melalui difusi nilai-nilai tertentu, barang konsumsi dan gaya hidup (Banerjee, 2002: 519-520).

Dengan nada berbeda, Holton (2002: 140-152) mengemukakan tiga tesis tentang konsekuensi budaya dari globalisasi: homogenisasi, polarisasi, dan hibridisasi. Standardisasi budaya global seputar pola Barat atau Amerika menjadi sentral tesis homogenisasi. Memang, beberapa bukti mendukung pandangan ini, kehadiran budaya alternatif  dan penolakan terhadap norma-norma Barat menunjukkan bahwa polarisasi memberikan gambaran yang lebih meyakinkan tentang perkembangan budaya global. 

Interkoneksi global dan saling ketergantungan tidak selalu berarti kesamaan budaya. Budaya, tampaknya, lebih sulit untuk dibakukan daripada organisasi ekonomi dan teknologi. Tesis hibridisasi berpendapat bahwa budaya meminjam dan memasukkan unsur-unsur satu sama lain, menciptakan bentuk-bentuk hibrid.

Dari tesis polarisasi dan hibridisasi, beberapa pemikir mengeksplorasi perspektif baru tentang hubungan dinamis antara budaya industri Barat dan budaya lokal yang disebut sebagai glokalisasi. Ahli teori glokalisasi biasanya menantang asumsi bahwa proses globalisasi selalu membahayakan lokal. 

Alih-alih, glokalisasi menyoroti bagaimana budaya lokal dapat secara kritis mengadaptasi atau menolak fenomena 'global', dan mengungkapkan cara di mana penciptaan lokalitas merupakan komponen standar globalisasi. Trend glokalisasi menekankan kapasitas kreatif aktor lokal di tingkat nasional untuk menciptakan produk budaya yang heterogen yang lebih memperhatikan budaya lokal meskipun sebagian besar masih mengikuti dan mengadaptasi struktur budaya global. 

Lebih lanjut, Giulianotti dan Robertson (2007: 134) menyatakan empat jenis glokalisasi. Pertama, relativisasi, di mana para aktor pelaku berusaha untuk melestarikan institusi, praktik, dan makna budaya mereka sebelumnya dalam lingkungan baru, sehingga mencerminkan komitmen untuk membedakan dari budaya dominan. 

Kedua, akomodasi, di sini para pelaku menyerap secara pragmatis praktik, institusi, dan makna yang diasosiasikan dengan masyarakat lain, untuk mempertahankan elemen kunci dari budaya lokal sebelumnya. 

Ketiga, hibridisasi, di mana para pelaku mensintesiskan fenomena budaya lokal dan lainnya untuk menghasilkan praktik, institusi, dan makna budaya yang khas dan hibrid. 

Keempat, transformasi, di mana para pelaku mendukung praktik, institusi atau makna yang diasosiasikan dengan budaya lain dan dapat memperoleh bentuk budaya baru atau, lebih ekstrim lagi, pengabaian budaya lokal demi budaya alternatif dan/atau bentuk hegemonik.

Namun, Sparks (2007: 145-147) memberikan pendapat berbeda tentang kapasitas produsen lokal untuk melawan globalisasi melalui produk glokal karena, pada kenyataannya, banyak industri-budaya dan media Amerika masih menghegemoni dunia dengan “produk-produk Hollywood murni yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal atau bahasa nasional”, “produk lokal dengan hak cipta Hollywood”, atau produk lokal yang mengikuti pola Amerika. 

Alih-alih melakukan perlawanan terhadap hegemoni budaya global, banyak produk industri dan media budaya di tingkat nasional menunjukkan bahwa glokalisasi merupakan representasi strategis produsen media kapitalis untuk menegosiasikan wacana dan metafora kehidupan modern yang bercampur dengan beberapa masalah lokal tertentu, seperti cinta, ekonomi, dan perjuangan sosial ke kota-isme dengan mengikuti pola program buatan AS. 

Serial televisi, film, dan musik pop menyampaikan dalam pola yang berbeda kecenderungan tersebut atau produk budaya dan media di tingkat nasional memainkan peran strategis dalam menciptakan komunitas imajiner yang tersebar di konteks nasional beberapa orientasi dan praktik metropolitan yang dominan ke dalam kehidupan lokal sehari-hari. .

Berbagai perdebatan tentang globalisasi mengimplikasikan kondisi rumit masyarakat dunia kontemporer dalam menyikapi kedua fenomena tersebut. Globalisasi dengan segala aspeknya memunculkan budaya global yang tidak dapat dikatakan hanya sebagai homogenisasi. 

Appandurai (2001) menjelaskan bahwa globalisasi melibatkan penerapan berbagai instrumen (persenjataan, teknik periklanan dan pemasaran, hegemoni bahasa, gaya pakaian, musik, film, dll.) yang terserap ke dalam ekonomi politik dan budaya lokal.

Namun, sebagian besar komunitas lokal di seluruh dunia masih memiliki kapasitas kreatif dalam memahami dan memahami kembali pengaruh global dan metropolitan dan, dengan menegosiasikan dan menekankan budaya lokal mereka sendiri ke dalam gaya hidup, praktik budaya dan produk mereka, mereka menekankan pada lokalisme baru. 

Schuerkens (2003: 218) menjelaskan bahwa banyak dari elemen budaya global ditransformasikan selama proses integrasi dan tertanam dalam lingkungan lokal yang baru. Mereka ditafsir dalam kaitannya dengan budaya lokal dan pengalaman tertentu dari populasi lokal. Mereka disesuaikan dengan persyaratan lokal dan diisi dengan konten dan fungsi yang sesuai.

Warga lokal membutuhkan waktu untuk membentuk-ulang budaya metropolitan yang mencapai spesifikasinya sendiri. Namun, proses apropriasi lokal dan transformasi unsur-unsur budaya memungkinkan munculnya sesuatu yang baru dan unik, karena percampuran unsur-unsur budaya lokal dan impor. 

Pertemuan budaya lokal dengan elemen budaya yang berbeda menandakan penciptaan bentuk budaya baru, gaya hidup baru, dan representasi baru. Dalam perspektif global, ini berarti keragaman budaya global: tetapi keragaman dihasilkan dari hubungan budaya global saat ini, dari penyesuaian terhadal budaya luar oleh penduduk lokal dan dari campuran kreatif elemen global dengan makna lokal dan bentuk budaya.

Pemaparan tersebut memberikan tanda positif pemberdayaan budaya lokal dalam konteks global, tetapi tidak ada gambaran tentang dalam kondisi dan strategi sosial budaya seperti apa, masyarakat lokal dapat memiliki respon dan cara kreatif terhadap struktur budaya global. 

Masalah tersebut penting untuk dibahas karena tidak semua masyarakat lokal, misalnya dalam kasus Indonesia, memiliki kesadaran yang kuat dalam menegosiasikan dan mengaktualisasikan budayanya. 

Sebagian dari mereka mungkin menerima kecenderungan budaya global dan menyerap ke dalam budaya mereka secara tidak kritis dari mana yang global akan dominan dan yang lokal akan tersubordinasi, sementara yang lain memiliki pertimbangan strategis dalam mengadaptasi global ke dalam lokal tanpa kehilangan identitas budaya-lokal.

Tulisan ini akan membahas secara kritis kapasitas kreatif komunitas Tengger dalam menegosiasikan budaya lokal mereka sebagai kontestasi strategis terhadap pengaruh budaya global. 

Masyarakat Tengger adalah masyarakat Jawa yang mendiami sekitar Gunung Semeru dan Bromo dengan persebaran demografis di Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang, serta menjalankan tradisi leluhur sejak dulu hingga sekarang. 

Menggunakan perspektif “di antara ruang” oleh Bhabha dan perspektif “hegemoni yang tidak stabil” oleh Gramsci, artikel ini akan mengeksplorasi: (1) kondisi sosial budaya kedua komunitas, khususnya dalam isu budaya lokal dan ketahanan budaya dan (2) kontestasi strategis kedua komunitas dalam merespon dan melawan pengaruh budaya global yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Mendekonstruksi Globalisasi dalam Pembacaan Lokal 

Terima kasih kepada Derrida yang secara kritis mengeksplorasi “dekonstruksi”, perspektif dalam membaca pemikiran filosofis dan pengetahuan tertentu yang bisa mematahkan kepastian konsepnya. 

Bagi Derrida sendiri “dekonstruksi” bukanlah praktik membaca yang menghancurkan semua struktur dan makna pemikiran atau teori sebagai ranah utama strukturalisme, tetapi menekankan analisis detail dengan memberikan kemungkinan “permainan bebas” di pusat struktur itu sendiri karena koherensi struktur bertentangan satu sama lain ((Derrida, 1989: 231-247; Borradori, 2000: 1-22; Leledakis, 2000: 175-193; Saul, 2001: 1 -120; Cilliers, 2005: 255-267). 

Permainan bebas ini memungkinkan pembacaan kritis yang diwarnai oleh “pecahnya”, “penghormatan”, dan “perbedaan”—disebut différance—ke arah “logosentrisme” dalam kecenderungan filsafat Barat yang darinya keterbukaan dimungkinkan dan menjadikan otoritas dalam arti dan makna. struktur koherensi didekonstruksi; bukan oleh 'kekuatan' di luar struktur, tetapi oleh kontradiksi di antara bagian-bagian struktur itu sendiri. 

Mengikuti dekonstruksi Derridean, globalisasi dapat diasumsikan sebagai “struktur imajiner” dari narasi global di mana banyak orang, negara, dan budaya memainkan hubungan yang saling bergantung satu sama lain yang diwarnai oleh hegemoni bentuk dan konsep budaya Barat di seluruh dunia. 

Globalisasi menghasilkan budaya global sebagai inti dari banyak struktur lain di setiap negara, yang mendukung proses total penataan struktur yang koheren.

Alih-alih membuat kepastian struktur dan makna, budaya global memberikan kemungkinan untuk permainan bebas di antara setiap bagian dari struktur untuk menciptakan bentuk dan nilai yang berbeda, yang dalam konteks tertentu membuat budaya yang lebih beragam dan lebih baru. 

Kondisi ini dimungkinkan karena banyak masyarakat lokal yang memiliki kekuatan sendiri untuk bermain di antara ruang sebagai strategi kreatif bagi penduduk setempat. Bhabha (1994: 1-2) berpendapat:

Ini adalah metafora zaman kita untuk menempatkan pertanyaan tentang budaya di dalam dan di luar… 'Di luar' bukanlah cakrawala baru, atau meninggalkan masa lalu… kita menemukan diri kita dalam momen transit di mana ruang dan waktu bersimpangan untuk menghasilkan figur kompleks perbedaan dan identitas, masa lalu dan masa kini, di dalam dan di luar, inklusi dan eksklusi. 

Karena ada disorientasi, gangguan arah, 'di luar': gerakan penjelajahan yang gelisah… di sana-sini, di semua sisi,… ke sana ke mari, bolak-balik… 'Ruang di antara' ini menyediakan medan untuk mengelaborasi strategi kedirian—tunggal atau komunal—yang menginisiasi tanda-tanda identitas baru, dan berinovasi di tempat-tempat kolaborasi, dan kontestasi, dalam tindakan mendefinisikan gagasan masyarakat itu sendiri. 

Hidup “di antara ruang” atau “ruang ketiga” memunculkan celah bahwa pengalaman antar-subjektif dan kolektif tentang kebangsaan, kepentingan komunitas, atau nilai budaya dinegosiasikan. 

Sebagai minoritas dalam konteks popularitas budaya global-hegemonik, penduduk lokal mengartikulasikan perbedaan dari perspektif minoritas dalam sebuah negosiasi kompleks yang berupaya mengesahkan hibriditas budaya yang muncul pada saat-saat transformasi sejarah. 

Kondisi untuk menandakan dari pinggiran kekuasaan dan hak istimewa tidak bergantung pada kegigihan tradisi; itu bersumber dari kekuatan tradisi untuk menulis ulang melalui kondisi kontingensi dan kontradiksi yang hadir pada kehidupan penduduk setempat sebagai 'minoritas.'

Penduduk setempat, kemudian, bukan merupakan budaya global. Budaya kontra-globalisasi semacam itu mungkin bergantung pada modernitas, terputus-putus atau bertentangan dengannya, tahan terhadap teknologi asimilasi yang menindas; tetapi mereka juga menyebarkan hibriditas budaya dari kondisi garis batas mereka untuk 'menerjemahkan', dan karena itu menulis ulang, imajiner sosial dari budaya global.

Budaya global dan blok-blok penguasanya, karenanya, tidak dapat mengontrol secara efisien budaya-budaya baru yang darinya stabilitas hegemoni tidak dapat bertahan sepenuhnya. 

Dengan mengadopsi dan meniru pola global, penduduk lokal terus memainkan tradisi lokal mereka dengan cara pandang dan praktik yang hibrid. Bukan dengan meninggalkan semua warisan nenek moyang, tetapi dengan mempertimbangkan kembali dan mentransformasikannya menjadi struktur yang dapat dinegosiasikan dan diadaptasi dalam visi modern-global dengan target utama untuk menghadirkannya kembali dalam kehidupan kontemporer. 

Dalam konteks ini, hegemoni budaya global tertunda di mana akan terjadi kondisi yang disebut sebagai “hegemoni yang tidak stabil.” Hegemoni adalah relasi kuasa yang dilakukan oleh kepemimpinan intelektual, moral, dan kultural, yang tersebar melalui institusi hegemonik (lembaga agama, pendidikan, hukum, dan budaya), dan dibangun melalui kesepakatan konsensual di antara orang-orang yang diwarnai oleh negosiasi dan artikulasi yang terus-menerus (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau dan Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16; Bennet, 1986: xv; Slack, 1997: 115). 

Istilah "negosiasi" dan "artikulasi" menyiratkan hegemoni sebagai proses keberadaan di mana kelompok pemimpin dan bawahan akan saling menegosiasikan kebutuhannya. Jika negosiasi ini berhasil, masing-masing kelompok akan mengartikulasikan kebutuhan kelompok lawannya yang darinya dasar kesepakatan konsensual tercipta dan mengarah ke hubungan hegemonik di mana kelompok bawahan tidak akan menganggap dipandu oleh yang memimpin. 

Negosiasi dan artikulasi juga memberi peluang untuk menemukan pencapaian yang tidak memuaskan bagi bawahan, jika kelas penguasa tidak cukup mengartikulasikan kepentingan bawahan yang mungkin dan kondisi ini mengarah pada "ketidakstabilan hegemoni." 

Dalam hubungan global-lokal, hegemoni yang tidak stabil menggiring kekuatan lokal untuk mengartikulasikan tradisi mereka sebagai proses dominan untuk melanjutkan kembali kesadaran dan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya budaya lokal dalam mempertahankan kehidupan mereka dalam lalu lintas modern-global. 

Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yang membutuhkan kesiapan dan strategi lokal, terutama dalam menghadapi, bukan melawan secara frontal, budaya global, yakni memainkannya di antara ruang yang akan membuat kekuatan dan budaya lokal secara bebas beroperasi secara diskursif dan praktis sebagai ideologi dan praktik konsensual. 

Memaknai Pengaruh Globalisasi Di Tengah Kabut Bromo

Sejak dahulu hingga sekarang, sebagai masyarakat pegunungan Jawa, masyarakat Tengger digambarkan sebagai masyarakat yang masih mengusahakan dan mempertahankan tradisi nenek moyangnya, baik dalam kepercayaan dan ritual keagamaan, kearifan lokal, dan adat budaya (Sutarto 2001; 2003a; 2003b; 2008). 

Meskipun sebagian besar dari mereka saat ini menganut agama Hindu sebagai agama utama masyarakat Tengger, mereka masih mempertahankan Kasada, Unan-unan, Entas-entas, Karo, dan ritual keagamaan kuno lainnya. 

Suku Tengger dalam upacara adat Yadnya Kasada. Konon legenda  Roro Anteng dan Joko Seger terkait dengan asal-usul nama Suku Tengger dan Upacara Kasada.(Shutterstock/priantopuji via Kompas.com) 
Suku Tengger dalam upacara adat Yadnya Kasada. Konon legenda  Roro Anteng dan Joko Seger terkait dengan asal-usul nama Suku Tengger dan Upacara Kasada.(Shutterstock/priantopuji via Kompas.com) 

Dalam konteks itu, orang Tengger menempatkan posisi unik dalam kajian budaya karena di era transformatif di mana banyak masyarakat Jawa mengarah pada budaya modern dan Islami dengan konsekuensi meninggalkan sebagian atau pola budaya tradisional mereka dan mempraktikkan beberapa pola baru, mereka tetap menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal dan ritual mereka sebagai “paugeran” (pedoman).

Namun, kemajuan ekonomi sebagai implikasi dari pertanian kapitalis sejak zaman kolonial yang telah mengubah pola pertanian subsisten menjadi petani produktif-komersial hingga saat ini secara bertahap mengubah kondisi sosial budaya masyarakat Tengger menjadi kondisi yang lebih modern. 

Hefner (1999: 187-264) mencatat setidaknya tiga macam perubahan di masyarakat Tengger di Tosari (Pasuruan) sebagai wilayah penelitiannya: (1) perubahan pola kerja tani; (2) perubahan budaya konsumsi; dan (3) perubahan pemahaman ritual terkait kelas sosial dan nilai prestisius. 

Dalam pola kerja kontemporer, mereka lebih memilih membayar buruh bulanan atau harian daripada menggunakan pola masa lalu yang menekankan kerjasama kerabat dan kekeluargaan. 

Budaya konsumsi menjadi isu yang menarik karena pada masa lalu, sebelum pertanian komersial, orang Tengger kurang terbiasa dengan produk industri modern, terutama keperluan rumah tangga dan alat transportasi-komunikasi. Ketika uang lebih mudah didapat, mereka mulai membeli kulkas, televisi, furnitur, pakaian modis, mobil, sepeda motor, telepon seluler, dan yang lain. 

TP sekarang juga mengalokasikan banyak uang untuk menunjukkan kapasitas dan kemampuannya dalam menyukseskan ritual adat; semakin besar uang yang mereka gunakan, semakin bergengsi posisi yang mereka dapatkan. Kesimpulan umum mungkin lebih interpretatif dan perspektif yang berbeda mungkin lebih dapat diterapkan.

Kepopuleran produk-produk industri modern dan dampak yang mengikutinya, seperti menonton televisi pada sore hari setelah bercocok tanam, merupakan tanda budaya global dalam konteks Tengger. Mereka sangat menikmatinya untuk aktivitas sehari-hari, mulai dari praktik pertanian produktif hingga hiburan. 

Dengan kata lain, budaya global adalah "sesuatu yang biasa" di mana komunitas Tengger menemukan keuntungan yang berguna tanpa meninggalkan tradisi mereka. Mereka memahami peningkatan kapasitas keuangan dari pertanian modern dan pariwisata untuk terus mendukung dan mengembangkan beberapa ritual yang penting. 

Anak Suku Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur.(Shutterstock/Eva Afifah via Kompas.com) 
Anak Suku Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur.(Shutterstock/Eva Afifah via Kompas.com) 

Ritual akan membimbing mereka ke dalam hubungan harmonis dengan sesama manusia, alam, kekuatan supranatural, para dewa, dan Hong Pukulun (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Proses ini terjadi karena mereka  bermain di ruang antara sebagai ruang ketiga untuk menegosiasikan kepentingan lokal mereka dalam suasana modern-global. Mereka mengambil dan menggunakan beberapa bagian dari budaya global dan kemajuan finansial sebagai elemen pendukung dalam keberadaan identitas, kepercayaan, dan praktik budaya mereka. 

Alih-alih mengurangi kepercayaan lokal mereka, budaya global dan kemajuan finansial menjadi “struktur yang dapat didekonstruksi dan dimainkan” untuk memberdayakan kekuatan lokal.

Kondisi tersebut merupakan hasil persilangan ideologis antara budaya global dan budaya lokal. Sebagai proses persilangan ideologis, warga Tengger tidak pernah menolak dan meniadakan kekuatan budaya global ke dalam kehidupan mereka. 

Namun, mereka juga tidak mengambil semua kekuatan global, hanya sebagian saja, dan mengartikulasikan beberapa pola yang bermanfaat ke dalam budaya mereka (Setiawan, 2008a; 2008b).  

Artikulasi parsial ini menuntut komitmen yang kuat terhadap kekuatan lokal karena warga Tengger tidak mempraktikkan budaya berbasis religi dan tradisinya sebagai pertunjukan ritual belaka, tetapi juga sebagai ideologi yang membimbing mereka dalam menjalani semua aspek kehidupan. 

Ideologi dalam konteks ini bukanlah konsep over-deterministik seperti yang didefinisikan oleh Marx, tetapi merupakan kerangka kognisi sosial, disebarkan untuk dan dijalani oleh anggota kelompok sosial. Ideologi dibentuk melalui pemilihan nilai-nilai sosio-kultural yang relevan dan diorganisir oleh skema ideologis yang merepresentasikan definisi diri kelompok.  

Ideologi berfungsi sebagai kognisi untuk mengatur representasi sosial (sikap dan pengetahuan) kelompok, dan secara alami menjadi pengawasan terhadap praktik sosial budaya, teks, dan percakapan sehari-hari kelompok (Althusser, 1971: 162 -177; Hall, 1982: 71, 1997: 26; van Dijk: 1995: 284). 

Bagi komunitas Tengger, segala aktivitas dan praktik mereka, baik dalam ranah ekonomi sosial budaya, maupun pariwisata, merupakan kontestasi strategis mereka untuk menegosiasikan identitas serta memperkuat dan memberdayakan akar budaya dan agama mereka, tanpa takut bersentuhan dengan fenomena budaya global. 

Beberapa contoh dari pandangan tersebut adalah bagaimana mereka memaknai kembali kehidupan keluarga dan ritual keagamaan mereka dalam konteks budaya ekonomi global yang menekankan akumulasi modal dalam semua aspek bisnis, termasuk pertanian.

Rumah dan kehidupan keluarga merupakan tempat untuk melihat bagaimana pemahaman dan kontestasi strategis warga Tengger terhadap globalisasi. Ketika mereka mendapatkan banyak uang dari pertanian sayuran, mereka membangun kembali rumah mereka dengan arsitektur yang lebih modern, seperti yang mereka lihat di kota dan televisi, dan itu membuat rumah kayu semakin jarang. 

Mereka juga mulai banyak membeli produk industri untuk perlengkapan rumah tangganya. Meski rumah modern menjadi populer, mereka masih mempertahankan beberapa ruang kuno dari desain rumah mereka. 

Misalnya, mereka masih membuat “tungku api tradisional” di ruang tengah rumah (ruang antara ruang tamu yang diwarnai furnitur modern dan ruang dapur) untuk melayani tamu yang membutuhkan suhu lebih hangat sambil membicarakan beberapa topik. 

Piranti hiburan seperti televisi juga menjadi properti biasa bagi rumah-rumah Tengger. Bagi masyarakat Tengger, televisi dan VCD player merupakan sarana bersantai bersama keluarga di waktu senggang setelah melakukan kegiatan bercocok tanam dari pukul 07.00 sampai 16.00. dan mereka hanya menghabiskan 1 jam sampai 2 jam karena tubuh lelah mereka tidak bisa menunggu lama untuk tidur. 

Alih-alih sebagai tanda perubahan, keberadaan properti modern menandakan praktik hibrid di mana warga Tengger meniru beberapa bentuk budaya modern-global di satu sisi dan di sisi lain mereka benar-benar mewujudkan komitmen terhadap wisma (rumah yang cukup baik) sebagai salah satu setya leksana (lima komitmen suami istri dalam mensukseskan kehidupan berumah tangga). 

Komitmen terhadap wisma berubah dari waktu ke waktu, mengikuti dinamika perkembangan ekonomi, dengan menekankan fungsi rumah sebagai pusat orientasi masa depan yang lebih baik bagi keluarga Tengger dalam menyukseskan setya leksana lainnya seperti wareg (makanan yang cukup), waras (kesehatan yang baik), wastra (pakaian yang layak), dan wasis (pengetahuan yang lebih baik). 

Empat komitmen lainnya akan lebih mudah dicapai jika pasangan Tengger memiliki rumah yang menyenangkan dan bagus untuk membicarakan strategi dan cara.

Kelangsungan praktik ritual juga menjadi bukti kontestasi strategis masyarakat Tengger dalam kehidupan yang lebih berorientasi modern. Meski dalam lanskap keseharian, beberapa aspek modernitas mewarnai kawasan Tengger, warga, khususnya saat-saat sakral, tetap melakukan ritual keagamaan. 

Pertumbuhan ekonomi yang mengubah kehidupan Tengger menjadi global-modern dan berorientasi modal tidak serta merta mencabut mereka dari ritual-ritual keagamaan karena mereka masih berkomitmen pada setya budaya (kesetiaan budaya) sebagai salah satu ideologi sosio-kultural yang disebut panca setya (lima loyalitas dalam kehidupan sosial). -kehidupan budaya). 

Pada bulan kesepuluh penanggalan setempat, masyarakat Tengger dari empat kabupaten merayakan Kasada sebagai ritual kurban. Dari tengah malam, mereka bersama-sama datang ke segara wedi (lautan pasir) sebagai satu-satunya jalan menuju puncak Gunung Bromo dan membawa sebagian hasil pertanian dan ternak mereka sebagai persetujuan kepada arwah leluhur dan dewa-dewa mereka. 

Tarian dalam Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger. (Shutterstock/Syamhari photography via Kompas.com) 
Tarian dalam Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger. (Shutterstock/Syamhari photography via Kompas.com) 

Mereka berdoa dan berharap untuk kehidupan yang lebih baik, baik secara ekonomi maupun sosial-budaya. Dulu mereka pergi ke Bromo dengan berjalan kaki, melewati kabut gelap dan suhu yang sangat dingin. Saat ini mereka menggunakan mobil dan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. 

Koordinator dhukun pandhita (pemimpin ritual) berkomunikasi dan mengkonsolidasikan dhukun lain tentang beberapa persiapan untuk menyukseskan ritual dengan menggunakan telepon seluler. Kepopuleran produk industri modern dapat menjadi alat yang efektif dan efisien yang sangat mendukung dalam menyukseskan ritual dalam tradisi Tengger.

Entas-entas sebagai ritual termahal dalam tradisi Tengger juga penting untuk dibahas guna mengetahui bagaimana masyarakat memaknai kembali budayanya dalam konteks budaya global. Entas-entas adalah ritual kematian terakhir sebagai penghargaan kepada orang yang sudah meninggal sebelum mencapai nirwana

Dalam ritual ini, warga Tengger, meskipun mayoritas beragama Hindu, tidak melakukan ngaben (membakar jenazah) dan sebagai simbol kematian, mereka membakar petra (boneka yang terbuat dari rerumputan). Biasanya mereka menghabiskan puluhan juta untuk ritual ini untuk membeli sapi, ayam, dan bahan makanan lainnya untuk melayani tamu. 

Mereka biasanya menampilkan hiburan seperti campursari (musik tradisional-populer Jawa) dan tayub (tarian musik tradisional-populer Jawa) untuk membuat para tamu dan tuan rumah ritual lebih bahagia ketika mereka ditinggalkan oleh ruh yang akan menempuh perjalanan panjang menuju puncak Gunung Bromo dan Semeru sebagai dua zona transit sebelum sampai ke nirwana. melalui segara wedi.

Untuk menyukseskan ritual ini, biasanya banyak tetangga dan kerabat yang memberikan bantuan kepada keluarga tuan rumah dengan melakukan beberapa pekerjaan; laki-laki biasanya memiliki “pekerjaan ruang depan”, seperti membuat elemen dekoratif, menyiapkan peralatan ritual dan panggung terbuka, serta menyiapkan meja dan kursi untuk para tamu, sedangkan perempuan biasanya sibuk menyiapkan makanan. 

Mereka melakukan semua pekerjaan secara cuma-cuma sebagai komitmen sosial mereka. Bagi tuan rumah, mahalnya ritual itu tidak menjadi masalah serius karena mereka sengaja mempersiapkannya dengan bekerja keras dan menabung selama beberapa tahun. 

Keseriusan ini menggambarkan komitmen kuat mereka terhadap tradisi lokal, bukan untuk orientasi prestise, karena orang lain akan menyalahkan mereka sebagai penyimpangan budaya karena tidak menghargai anggota keluarga mereka yang telah meninggal, terutama orang tuanya. 

Jika ritual menjadi mahal di tahun-tahun berikutnya, maka harga bahan yang meningkat di pasar menyebabkannya. Hal ini membuat akumulasi modal sebagai budaya ekonomi global juga populer, tetapi warga Tengger memiliki mekanisme budaya sendiri untuk beradaptasi dan mengakomodasi kemajuan ini. 

Di masa lalu, mereka mungkin tidak merayakan ritual secara glamor karena secara ekonomi mereka tidak memiliki cukup uang dari pertanian jagung sebagai tanaman kuno yang membutuhkan 6-9 bulan untuk panen. Namun, di masa kini, ketika pertanian sayuran memberi mereka keuntungan finansial yang besar, mereka mulai mengubah ritual menjadi praktik yang berbeda. 

Secara implisit, kondisi tersebut melahirkan keinginan untuk mempertahankan tradisi lokal mereka dalam konteks yang lebih kontinyu dan lebih baru karena kehidupan mereka tidak stagnan. 

Jika alam dan dewa telah menyediakan mekanisme alam dan supranatural untuk keberhasilan pertanian mereka, secara timbal balik mereka harus mengembalikan kepada mereka ritual pengorbanan yang setara, sehingga hubungan yang harmonis antara manusia, alam sekitar, dan dewa selalu berlanjut di masa depan.

Uraian singkat di atas adalah contoh kontestasi strategis warga Tengger dalam mempertahankan tradisi lokal mereka dalam ekonomi yang lebih global dan budaya modern mewarnai kehidupan mereka saat ini. 

Kemampuan mereka untuk melakukan negosiasi dinamis dengan budaya lokal muncul sebagai kesadaran ideologis yang dimiliki melalui representasi tradisional-lisan secara terus-menerus dalam ritual yang dipandu oleh para dhukun pandita dan ajaran kolektif aktif yang mereka sosialisasikan atau ajaran pribadi yang dibimbing oleh orang tua.

Dalam pelaksanaan ritual, warga lintas generasi, baik laki-laki maupun perempuan, terlibat aktif sehingga membuat mereka berbagi makna budaya yang sama sebagai identitas kolektif dan, akhirnya, bangga dengan tradisi lokal mereka sendiri. 

Dhukun pandita secara teratur memberikan ajaran agama kepada generasi muda di Pura Desa dan datang ke sekolah dasar setiap minggu untuk mengajar siswa tentang warisan budaya Tengger dan pentingnya untuk mempertahankannya di masa kini. Para ibu dalam kegiatan memasak di pagi atau sore hari berbicara dengan anaknya tentang beberapa praktik budaya yang penting untuk diikuti. 

Proses-proses ini menciptakan kesadaran budaya secara normal melalui praktik dan formasi diskursif dan mengarah pada kesepakatan konsensual terhadap pelaksanaan budaya-lokal.

Masyarakat Tengger mampu memobilisasi identitas untuk bertahan dan mempertahankan tradisi lokalnya; bukan dengan menolak kekuatan budaya global, tetapi dengan bermain di ruang antara yang menekankan kemampuan kontestasi untuk mendefinisikan kembali hegemoni budaya global dan membuat mimikri yang menyebabkan kehidupan sehari-hari menjadi hibrid. 

Pada saat yang sama, mereka membuat ejekan yang menunjukkan lemahnya struktur dan kekuatan budaya global dengan mempertahankan tradisi mereka sendiri. Hegemoni budaya global didekonstruksi dan diperebutkan melalui gerakan anti-hegemoni yang unik secara diskursif dan praksis, yang melahirkan lokalitas baru yang dipandu oleh kekuatan lokal. 

Masyarakat Tengger tidak menganggap proses tersebut ini sebagai kekuatan negatif yang disebarluaskan oleh pemimpin adat, tetapi mereka meyakininya sebagai kontestasi strategis dan ideologis dalam menggantungkan dan meneruskan budaya lokal di masa mendatang.

Kesimpulan: Memberdayakan Sang Lokal dengan Beberapa Syarat
Saya percaya bahwa budaya lokal memiliki peran strategis sebagai kekuatan strategis esensial dalam perjuangan ideologi dan budaya dalam konteks budaya global. Beberapa gerakan radikal di Amerika Serikat dan Amerika Latin menggunakan isu politik dan ekonomi sebagai tema utama untuk menyebarkan bahaya globalisasi ke seluruh dunia (Seoane dan Taddei, 2002). 

Namun, resistensi budaya dalam konteks Indonesia memiliki bentuk dan pola tersendiri yang diwarnai oleh dua posisi ideologis utama: (1) memiliki resistensi terhadap semua produk dan pola budaya global dan (2) memiliki praktik hibridisasi dalam mengartikulasikan sebagian budaya global ke dalam budaya lokal.

Posisi kedua memiliki dua bentuk: (1) menerima dan mengadaptasi budaya ekonomi global sebagai mitra penting dalam mempertahankan budaya lokal dalam masyarakat transformatif dan (2) mencampur produk dan pola budaya global dengan produk lokal sebagai sumber utama untuk membuat produk budaya hibrida yang lebih baru. 

Masyarakat Baduy Dalam menunjukkan perlawanan terhadap pengaruh budaya luar dan global dengan mempraktikkan ritual dan budaya lokal lainnya secara berkelanjutan dan bercocok tanam secara subsisten. 

Masyarakat Tengger menerima dan mengadaptasi budaya global, tetapi sembari terus mengkontestasinya secara strategis dengan model hibriditas budaya. Praktik budaya modern seperti pertanian dan pariwisata tidak ditolak, tetapi dibawa masuk dan dimainkan untuk kepentingan individual dan komunal mereka, seperti keberlanjutan budaya dan religi leluhur. 

Posisi ideologis ini memiliki keunggulan tersendiri terutama dalam hal penyebarluasan budaya lokal di segala usia, meskipun orang lain akan menganggap pelaku aktifnya sebagai orang tradisional. Warga Tengger bisa menjalankan budaya leluhur secara fleksibel dengan memaknai secara kreatif budaya global sehingga mereka tidak sepenuhnya larut. 

Itulah yang disebut kontestasi strategis di mana masyarakat lokal melakukan dekonstruksi terhadap kemutlakan pengaruh global dan ekonomi kapitalisme dengan tetap menghadirkan dan memperjuangkan nilai dan praktik budaya lokal di ruang transformatif yang diwarnai elemen-elemen modernitas.

Namun, posisi ideologis komunitas Tengger hanya dapat terbentuk terus-menerus dalam jangka panjang jika mereka selalu berbagi formasi, praktik, dan representasi diskursif kolektif dari produk budaya dan ritual mereka sebagai cara strategis untuk menyebarkannya sebagai ideologi konsensual. 

Posisi budaya lokal sebagai ideologi konsensual akan membuat anggota komunitas percaya dan mempraktikkan kapasitas dan kapabilitas budayanya sebagai kekuatan identitas dalam masyarakat transformatif. 

Jika masyarakat lokal tidak dapat mempercayai budaya lokalnya sebagai bagian penting dan melekat dalam kehidupannya, maka budaya lokal hanya akan menjadi pertunjukan formal dan ritual belaka tanpa fungsi strategis dalam melawan hegemoni budaya global. 

Maka, budaya lokal hanya menunggu waktu kepunahannya dan masyarakat lokal akan menjadi subjek diskursif yang mengikuti budaya dan pengetahuan global secara normal sebagai rezim kebenaran dalam kehidupan sehari-harinya, jika mereka tidak mampu mengkontestasinya dalam siasat-siasat strategis.

Rujukan

Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.

Appadurai, Arjun. 2001. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”. Dalam Steven Siedman & Jeffrey C. Alexander (Ed). The New Social Theory Reader: Contemporary Debates. London: Routledge.

Banerjee, Indrajit. 2002. “The Local Strikes Back?: Media Globalization and Localization in the New Asian Television Landscape.” Gazette: The International Journal for Communication Studies, Vol. 64(6). 

Boggs, Carl.1984. The Two Revolutions: Gramsci and the Dilemmas of Western Marxism. Boston: South End Press.

Bennet, Tony. 1986. “Introduction: the turn to Gramsci.” Dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (Eds). Popular Culture and Social Relation. Philadelphia: The Open University Press.

Bhabha, Hommi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.

Borradori, Giovanna. 2000. “Two versions of continental holism: Derrida and structuralism.” Philosophy and Social Criticism, Vol. 26(4).

Cilliers, Paul. 2005. “Complexity, Deconstruction, and Relativism.” Theory, Culture, and Society, Vol. 22, No. 5. 

Derrida, Jacques.1989. “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Science.” Dalam Davis Robert Con & Ronald Schleifer (Ed). nNew York: Longman.

Edwards, Sebastian. 2002. “Capital Mobility, Capital Controls, and Globalization in the Twenty-first Century.” The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, January. 

Gills, Barry K. 2002. “Democratizing Globalization and Globalizing Democracy.” ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, May. 

Giulianotti, Richard & Roland Robertson. 2007. “Forms of Glocalization: Globalization and the Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America.” Sociology, Vol. 41, No. 1.

Gramsci, Antonio. 1981. “Class, Culture, and Hegemony.” Dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (Eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Hall, Stuart. 1982. “The Rediscovery of ‘ideology’: return of the repressed in media studies.” Dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennet, James Curran, and Janet Woollacott (Eds).  Culture, Society, and the Media. London: Metheun.

Hefner, Robert W.1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (terj. A. Wisnu Hardana & Imam Ahmad). Yogyakarta: LKiS. 

Holton, Robert. 2002. “Globalization’s Cultural Consequences.” The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, July.

Kien, Grant. 2004.“Culture, State, Globalization: The Articulation of Global Capitalism.” Cultural Studies <-> Critical Methodologies, Vol. 4(4).

Leledakis, Kanakis. 2000. “Derrida, deconstruction, and social theory.” European Journal of Social Theory, Vol. 3(2). 

Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe (Ed). 1982. “Hegemony and Ideology in Gramsci.” In Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Saul, Newman 2001. “Derrida’s deconstruction of authority.” Philosophy and Social Criticism, Vol. 27(3).

Schuerkens, Ulrike. 2003. “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and Localization.” Current Sociology, Vol. 5(3/4).

Seoane, José and Emilio Taddei. 2002. “From Seattle to Porto Alegre: The Anti-Neoliberal Globalization Movement.” Current Socioloy, Vol. 50 (1).

______________. 2008a. “Perempuan di Balik Kabut Bromo: Membaca Peran Aktif Perempuan Tengger dalam Kehidupan Rumah Tangga dan Masyarakat.” HumanioraVol. 20(2).

______________. 2008b. “Percumbuan di Balik Kabut Bromo: Persilangan Ideologi Kultural dan Kerja Pertanian-Modern dalam “Ruang Antara” pada Masyarakat Tengger Poskolonial.” Kultur, Vol. 1(3). 

Slack, Jennifer Daryl. 1997. “The theory and method of articulation in cultural studies.” Dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen (Ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.

Sparks, Collin. 2007. “What’s wrong with globalization?” Global Media and Communication, Vol. 3(2).

Stallings, Barbara. 2007. “The Globalization of Capital Flows: Who Benefits?” The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science. 

Steger, Manfred B.2006. Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar (trans. Heru Prasetya). Yogyakarta: Iafadl.

Sutarto.2001. Di Balik Mitos Gunung Bromo. Surabaya: Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.

______.2003a. “Perempuan Tengger: Sosok yang Setia kepada Tradisi.” Dalam Majalah Bende, 1.

______.2003b. Etnografi Masyarakat Tengger. Laporan Penelitian. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.

______.2008. Kamus Budaya dan Religi Tengger. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

van Dijk, Teun A. 1995. “Discourses semantics and ideology.” Discourse and Society, Vol. 6(2). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun