Schuerkens (2003: 218) menjelaskan bahwa banyak dari elemen budaya global ditransformasikan selama proses integrasi dan tertanam dalam lingkungan lokal yang baru. Mereka ditafsir dalam kaitannya dengan budaya lokal dan pengalaman tertentu dari populasi lokal. Mereka disesuaikan dengan persyaratan lokal dan diisi dengan konten dan fungsi yang sesuai.
Warga lokal membutuhkan waktu untuk membentuk-ulang budaya metropolitan yang mencapai spesifikasinya sendiri. Namun, proses apropriasi lokal dan transformasi unsur-unsur budaya memungkinkan munculnya sesuatu yang baru dan unik, karena percampuran unsur-unsur budaya lokal dan impor.
Pertemuan budaya lokal dengan elemen budaya yang berbeda menandakan penciptaan bentuk budaya baru, gaya hidup baru, dan representasi baru. Dalam perspektif global, ini berarti keragaman budaya global: tetapi keragaman dihasilkan dari hubungan budaya global saat ini, dari penyesuaian terhadal budaya luar oleh penduduk lokal dan dari campuran kreatif elemen global dengan makna lokal dan bentuk budaya.
Pemaparan tersebut memberikan tanda positif pemberdayaan budaya lokal dalam konteks global, tetapi tidak ada gambaran tentang dalam kondisi dan strategi sosial budaya seperti apa, masyarakat lokal dapat memiliki respon dan cara kreatif terhadap struktur budaya global.
Masalah tersebut penting untuk dibahas karena tidak semua masyarakat lokal, misalnya dalam kasus Indonesia, memiliki kesadaran yang kuat dalam menegosiasikan dan mengaktualisasikan budayanya.
Sebagian dari mereka mungkin menerima kecenderungan budaya global dan menyerap ke dalam budaya mereka secara tidak kritis dari mana yang global akan dominan dan yang lokal akan tersubordinasi, sementara yang lain memiliki pertimbangan strategis dalam mengadaptasi global ke dalam lokal tanpa kehilangan identitas budaya-lokal.
Tulisan ini akan membahas secara kritis kapasitas kreatif komunitas Tengger dalam menegosiasikan budaya lokal mereka sebagai kontestasi strategis terhadap pengaruh budaya global.
Masyarakat Tengger adalah masyarakat Jawa yang mendiami sekitar Gunung Semeru dan Bromo dengan persebaran demografis di Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang, serta menjalankan tradisi leluhur sejak dulu hingga sekarang.
Menggunakan perspektif “di antara ruang” oleh Bhabha dan perspektif “hegemoni yang tidak stabil” oleh Gramsci, artikel ini akan mengeksplorasi: (1) kondisi sosial budaya kedua komunitas, khususnya dalam isu budaya lokal dan ketahanan budaya dan (2) kontestasi strategis kedua komunitas dalam merespon dan melawan pengaruh budaya global yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Mendekonstruksi Globalisasi dalam Pembacaan Lokal
Terima kasih kepada Derrida yang secara kritis mengeksplorasi “dekonstruksi”, perspektif dalam membaca pemikiran filosofis dan pengetahuan tertentu yang bisa mematahkan kepastian konsepnya.