Entas-entas sebagai ritual termahal dalam tradisi Tengger juga penting untuk dibahas guna mengetahui bagaimana masyarakat memaknai kembali budayanya dalam konteks budaya global. Entas-entas adalah ritual kematian terakhir sebagai penghargaan kepada orang yang sudah meninggal sebelum mencapai nirwana.
Dalam ritual ini, warga Tengger, meskipun mayoritas beragama Hindu, tidak melakukan ngaben (membakar jenazah) dan sebagai simbol kematian, mereka membakar petra (boneka yang terbuat dari rerumputan). Biasanya mereka menghabiskan puluhan juta untuk ritual ini untuk membeli sapi, ayam, dan bahan makanan lainnya untuk melayani tamu.
Mereka biasanya menampilkan hiburan seperti campursari (musik tradisional-populer Jawa) dan tayub (tarian musik tradisional-populer Jawa) untuk membuat para tamu dan tuan rumah ritual lebih bahagia ketika mereka ditinggalkan oleh ruh yang akan menempuh perjalanan panjang menuju puncak Gunung Bromo dan Semeru sebagai dua zona transit sebelum sampai ke nirwana. melalui segara wedi.
Untuk menyukseskan ritual ini, biasanya banyak tetangga dan kerabat yang memberikan bantuan kepada keluarga tuan rumah dengan melakukan beberapa pekerjaan; laki-laki biasanya memiliki “pekerjaan ruang depan”, seperti membuat elemen dekoratif, menyiapkan peralatan ritual dan panggung terbuka, serta menyiapkan meja dan kursi untuk para tamu, sedangkan perempuan biasanya sibuk menyiapkan makanan.
Mereka melakukan semua pekerjaan secara cuma-cuma sebagai komitmen sosial mereka. Bagi tuan rumah, mahalnya ritual itu tidak menjadi masalah serius karena mereka sengaja mempersiapkannya dengan bekerja keras dan menabung selama beberapa tahun.
Keseriusan ini menggambarkan komitmen kuat mereka terhadap tradisi lokal, bukan untuk orientasi prestise, karena orang lain akan menyalahkan mereka sebagai penyimpangan budaya karena tidak menghargai anggota keluarga mereka yang telah meninggal, terutama orang tuanya.
Jika ritual menjadi mahal di tahun-tahun berikutnya, maka harga bahan yang meningkat di pasar menyebabkannya. Hal ini membuat akumulasi modal sebagai budaya ekonomi global juga populer, tetapi warga Tengger memiliki mekanisme budaya sendiri untuk beradaptasi dan mengakomodasi kemajuan ini.
Di masa lalu, mereka mungkin tidak merayakan ritual secara glamor karena secara ekonomi mereka tidak memiliki cukup uang dari pertanian jagung sebagai tanaman kuno yang membutuhkan 6-9 bulan untuk panen. Namun, di masa kini, ketika pertanian sayuran memberi mereka keuntungan finansial yang besar, mereka mulai mengubah ritual menjadi praktik yang berbeda.
Secara implisit, kondisi tersebut melahirkan keinginan untuk mempertahankan tradisi lokal mereka dalam konteks yang lebih kontinyu dan lebih baru karena kehidupan mereka tidak stagnan.
Jika alam dan dewa telah menyediakan mekanisme alam dan supranatural untuk keberhasilan pertanian mereka, secara timbal balik mereka harus mengembalikan kepada mereka ritual pengorbanan yang setara, sehingga hubungan yang harmonis antara manusia, alam sekitar, dan dewa selalu berlanjut di masa depan.
Uraian singkat di atas adalah contoh kontestasi strategis warga Tengger dalam mempertahankan tradisi lokal mereka dalam ekonomi yang lebih global dan budaya modern mewarnai kehidupan mereka saat ini.