Sebuah dunia, sebuah pikiran, dan sebuah perasaan tengah berubah seiring dengan masuknya subjek Annisa ke dalam ruang dan waktu yang dipenuhi semangat modern.
Kuliah, kegiatan organisasi, dan aktivitas menulis merupakan proses “mengada dengan akal” yang menjadikan Annisa sebagai “perempuan baru”; perempuan yang harus keluar dari kuasa tradisi dan bisa mengembangkan segala kepandaian dan kemampuannya berbasis kuasa nalar.
Lebih-lebih, keputusannya untuk mengikuti kursus bahasa di sebuah college bereputasi yang terhubung dengan kode-kode kosmopolitan.
Subjektivitas Annisa berubah menjadi sangat cair, lentur, tidak mau terkekang-kembali oleh kode-kode tradisional yang hanya menindas perempuan, tetapi tidak berarti ia tidak ingin terikat dengan institusi tradisional, seperti keluarga heteroseksual. Dia tidak mau memosisikan diri sebagai perempuan yang merdeka sepenuhnya, tanpa ikatan dengan lelaki dalam institusi keluarga.
Annisa menikah dengan Lek Kudori setelah sekian lamanya menjanda. Dalam wacana yang ditawarkan novel ini, konsep keluarga bukan lagi menjadi situs dominasi patriarkal, tetapi dibangun dalam sebuah relasi kesetaraan yang membolehkan perempuan berbiacara, sama halnya dengan lelaki, semisal ketika mereka membicarakan kemandulan dan solusi modern bagi permasalahan tersebut-teknologi bayi tabung (El Khalieqy, 2009: 249—252).
Subjektivitas lentur sebagai akibat kuatnya pengaruh pikiran dan kehendak menjadi modern menghadirkan cara pandang yang cair pua terhadap konsep budaya tradisional yang tidak harus dihilangkan tetapi dimaknai-kembali dalam praktik diskursif yang terhubung dengan formasi diskursif ilmu pengetahuan dan teknologi
Kehendak menjadi modern juga mengimplikasikan adanya kuasa nalar untuk melepaskan subjek manusia dari kekangan kuasa agama. Namun, dalam masyarakat pascakolonial, hal itu bukan berarti dimaknai sebagai sekulerisasi yang melepaskan diri subjek dari keterikatan terhadap agama.
Dalam sebuah kesempatan, seorang santri bertanya kepada Annisa tentang hadist yang menyatakan bahwa perempuan yang patut dipilih menjadi istri adalah yang mampu melahirkan banyak anak, karena nabi Muhammad SAW akan bangga di hari kiamat dengan banyaknya jumlah umat.
... Lalu aku bertanya, bagaimana jika umatnya banyak tetapi bodoh dan miskin, kufur dan syirik. Semua terdiam lalu aku melanjutkan, mana lebih baik, umat yang sedikit tetapi kualotasnya dibanggakan atau umat yang jumlahnya banyak tetapi memalukan? Masih tetap semua diam.
Aku berpikir, agaknya para santri disini masih dihinggap rasa sungkan untuk berdebat ataukah kekuatan taklid itu masih begitu mengakar. Memang banyak hal yang wajib ditaati, namun banyak juga dari hidup ini yang wajib di renung dan dipikirkan dengan akal sehat wal afiat.
“Jika ditanya seseorang seperti itu,” kata saya memberi sugesti , “pasti saya akan menjawab dengan mantap bahwa kualitas umat lebih utama dari kuantitas. Dan, saya yakin, Nabi pun lebih bangga dengan kualitas umatnya dan bukan kuantitas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!