Dalam perspektif yang demikian, karya sastra merupakan produk representasi yang menghadirkan persoalan-persoalan sosial, kultural, ekonomi, politik, agama maupun gender, dalam masayarakat pascakolonial, utamanya terkait bagaimana subjek-subjek tokoh naratif memposisikan kedirian mereka di tengah-tengah pertemuan antara nilai-nilai modern dan tradisional, antara yang individual dan yang komunal/bangsa, maupun antara yang lokal dan yang global/metropolitan dalam beragam formasi diskursifnya.
Cara pandang tersebut akan memunculkan konsep subjektivitas cair dan hibrid yang dipenuhi dengan warna negoisasi sesuai dengan kondisi-kondisi kontekstual ruang dan waktu yang dihadapi tokoh utama dalam sebuah karya naratif.
Kecenderungan tersebut banyak dipresentasikan dalam karya sastra yang ditulis oleh para penulis dari sebuah negara-kebanyakan dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin-yang bermigrasi dan hidup di wilayah metropolitan negara-negara maju, khususnya Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia-atau yang biasa disebut diaspora.
Salman Rushdie, terkait novelnya The Satanic Verses (1988), mengatakan sebagai berikut.
“The Satanic Verses merayakan hibriditas, ketidakmurnian, kebercampuran, transformasi-transformasi yang memunculkan kombinasi-kombinasi baru dan tak terkira dari manusia, budaya, ide, politik, film, dan lagu ... Percampuran, kumpulan campur-aduk, sedikit dari sini sedikit dari sana merupakan cara bagaimana kebaruan memasuki dunia.
Adalah sebuah kemungkinan besar bahwa migarsi massal memberi pada dunia, dan saya mencoba untuk mencakupnya. The Satanic Verses titujuksn untuk perubahan-melalui-fusi, perubahan-melalui-penggabungan. Ia adalah senandung-cinta untuk diri-diri yanag terpinggirkan." ( Mishra, 2001: 224).
Sebagai migran dari Pakistan yang hidup di Inggris, Rushdie, sebagaimana direpresentasikan oleh tokoh-tokoh fiktifnya, tentu memahami posisi geo-kultural-nya di dalam ruang bernama metropolitan dengan sudut pandang keberantaraan karena ia menemukan banyak individu dari negara bekas penjajah dan individu dari negara-negara bekas jajahan Inggris dengan beragam varian kulturalnya.
Ia dan individu-individu dari negara bekas jajahan akan berada di ruang batas tempat dimana mereka harus melakukan apropriasi terhadap nilai dan praktik kultural yang menjadi kebiasaan di Inggris sebagai negara induk. Pada waktu bersamaan, mereka tak mungkin melepaskan semua ikatan kltural dengan masyarakat asal.
Percampuran-percampuran di antara budaya induk dan budaya asal itulah yang akan melahirkan “kebaruan” bagi dunia yang mencairkan batas-batas biner Barat dan Timur, meskipun tetap diwarnai tegangan-tegangan artikulatif yang tiada henti.
Bagaimanapun juga, subjek diasporik akan menempati posisi marjinal dan tidak bisa terintegrasi sepenuhnya ke dalam sebuah ruang kultural masyarakat metropolitan.
Kemarjinalan dan keberbedaan itulah yang semakin mendorong mereka untuk memelihara dan membangun memori-memori tentang budaya dan masyareakat di tanah air mereka sebagai rung ideal.