Menjadi wajar kalau dalam struktur dunia naratif akan muncul kegaiban, kemistisan, ketradisionalan, dan kemasalampauan, tanah air di tengah-tengah kehidupan modern yang dilakoni oleh para tokohnya di negara-negara induk.
Identitas kultural dan subjektivitas individual dalam kondisi tersebut menjadi cair, tidak terpusat, hibrid, dan dipenuhi `perjalanan kaleidospik’ dari yang individual dan dari yang lampau menuju yang multikini-beragam (Kral, 2009: 26).
Formula naratif tersebut, tentu saja, tidak hanya berlaku bagi novel yang ditulis para penulis diasporik dan diproduksi di wilayah metropolitan, tetapi juga bagi novel yang ditulis oleh para penulis dalam level nasional.
Karena, seperti dalam kasus Indonesia dan negara-negara lain di Asia dan Afrika, masyarakat juga mengalami efek-efek diskursif sebagai akibat kolonialisme di masa lampau, dimana modernitas menjadi endapan-endapan ideologis yang terus bertransformasi dalam praktik kepemerintahan, ekonomi, pendidikan, hukum, maupun media.
Lebih dari sekadar pembacaan terhadap representasi kompleksitas identitas dan subjektivitas kultural, perspektif poskolonial juga membuka-diri bagi munculnya “celah teoretis” ketika dikaitkan dengan kompleksitas tersebut.
Meskipun ketradisionalan maupun kebangsaan asal masih dinegosiasikan dalam struktur naratif, apa yang harus dilihat secara kritis adalah bahwa semua itu berlangsung dalam formasi diskursif modernitas/Barat berbasis ideologi pencerahan-rasionalitas, individualisme, dan sekularisasi (Venn, 2006: 53—54; McGuigan, 1999: 40—41).
Ada dua tawaran diskursif yang muncul dari pemahaman tersebut. Pertama, budaya tradisional akan mendapatkan resistensi diskursif karena dianggap mengekang nilai-nilai kebebasan individual, tidak seperti nilai-nilai kultural di negara induk yang lebih membebaskan.
Kedua, nilai-nilai lokal di negara asal akan tetap dimaknai sebagai kebutuhan, tetap ditransformasikan ke dalam logika modern yang dianggit bisa menjebatani nilai-nilai individual dengan komunal.
‘Mencairnya’ Kuasa Budaya dalam Kehendak Menjadi Modern
Dari dua kerangka di atas, budaya tradisonal tidak hanya dimaknai sebagai nilai, praktik, maupun keyakinan yang berkembang dalam masyarakat, tetapi juga bisa meluas dalam aspek-aspek lain, gender misalnya.
Novel Perempuan Berkalung Sorban (2009) karya Abidah El Khalieqy, yang begitu tersohor, bahkan sampai difilmkan oleh Hanung Brahmantyo, merupakan contoh karya sastra yang menghadirkan resistensi terhadap budaya tradisional terkait gender sekaligus mengidealisasi proses transformasi kultural.