Novel Garuda di Dadaku (Salman Aristo, 2009) bisa menjadi contoh bagaimana membaca ketiga praktik diskursif di atas. Bayu, seorang remaja dari sebuah kampung suburban di Jakarta, bercita-cita untuk menjadi anggota timnas sepak bola junior.
Namun, cita-cita itu mendapat halangan dari Kakek yang membenci profesi pesepak bola karena dianggap tidak bisa menghadirkan kemakmuran bagi dirinya di masa mendatang. Meskipun, sama-sama membawa ideologi kemakmuran, subjek Bayu dan Kakek memiliki perbedaan biner terkait cara mewujudkannya.
Bayu, tanpa sepengetahuan Kakek, masuk menjadi anggota sebuah sekolah sepak bola internasional di Jakarta, atas bantuan temannya. Sementara, Kakek memasukkan Bayu ke tempat kursus musik dan lukis. Dalam narasi yang demikian, institusi tradisional bernama keluarga menjadi kuasa yang mengekang kehendak individual untuk bisa menjadi diri penuh-kemampuan demi mewujudkan cita-cita.
Dalam kondisi demikian, tokoh utama di tuntut untuk bersiasat, pada saat bersamaan tetap menghormati institusi tradisional sekaligus tidak menyerah terhadap setiap kekangan yang hadir.
Yang menarik dari novel ini adalah bertemunya hasrat individual, yakni menjadi anggota timnas junior, dengan cita-cita kebangsaan, membawa harum nama Indonesia dalam kompetisi sepak bola internasional.
Kehadiran sekolah sepak bola internasional dalam narasi menjadi penanda kehadiran korporasi transnasional yang bisa saja dengan prinsip cairnya mengakomodasi kepentingan individual sekaligus kepentingan nasional sebuah bangsa.
Dalam konteks tersebut, institusi olahraga internasional, yang tentu juga menjadi institusi modal transnasional, bukan lagi menjadi “musuh bersama”, seperti ketika para penjajah Eropa menguasai tanah air.
Mereka adalah,”teman baik” yang bisa mewujudkan cita-cita individual maupun memupuk semangat nasionalisme di dada setiap remaja Indonesia. Bayu tidak mungkinbisa menjadi anggota timnas junior dan mengharumkan nama Indonesia ketika ia bergabung dengan sekolah sepak bola tersebut.
Negara, kemudian, cukup dihadirkan sebagai “merah putih” atau “garuda” yang akan selalu dikibarkan, mengiringi perjuangan Bayu dan kawan-kawannya di timnas ketika bertanding melawan tim dari negara lain. Artinya, negara bukan lagi menjadi kekuatan hegemopnik yang bisa mengendalikan pemahaman kebangsaan setiap warga negaranya.
Negara bukan lagi rezim yang bisa dan boleh membatasi pemaknaan warga negara terhadap nasinalisme. Mereka memiliki kebebasan untuk memberikan makna-makna baru terhadap nasionalisme-terhadap “merah putih” dan “garuda”-yang sekaligus bisa mewujudkan cita-cita individual di tengah-tengah kompetisi ketat.
Negara, sama halnya dengan keluarga, adalah `wasit yang baik’, atau bisa juga `penonton yang baik’, yang harus memberikan kebebasan kepada para subjek untuk berkompetisi, bermain, dan berjuang dalam formula-formula pasar.