Awal(-an)
Dalam sebuah percakapan dengan Jean Camaroff tentang “ketidakterpusatan subjek” dalam masyarakat pascakolonial, Hommi K. Bhabha, salah satu pemikir pascakolonial dari India, mengatakan bahwa dalam sastra, tidak ada subjek terjajah yang memiliki ilusi untuk berbicara dengan identitas utuh.
Subjek terjajah merupakan jenis "subjek-terbelah," baik secara fenomenologis maupun historis, karena mereka sudah mendapatkan pengaruh modern, tetapi masih meyakini sebagian budaya tradisional. Lebih lanjut, Bhabha menjelaskan,
`Ketidakterpusatan’ diri merupakan kondisi yang sangat nyata dari agensi dan imajinasi di dalam kondisi kolonial dan pascakolonial ... ia menjadi ... cara untuk hidup dengan diri dan orang lain sembari tetap mengakui `parsialitas’ identifikasi sosial..
... ia menjadi bagian dari mengadanya seseorang secara etis dalam makna bahwa `ketidakpusatan’ tersebut juga menginformasikan agensi yang melaluinya seseorang menjalani perhatian secara mendalam pada diri dan perhatian pada `orang lain’" (Bhabha, 2002: 21)
Sebagai subjek yang pernah mengalami penjajahan, masyarakat pascakolonial selalu mengalami keberantaraan, ambivalensi, dan kegandaan kultural dikarenakan peniruan terhadap budaya modern dan keinginan untuk tetap menjalankan sebagian budaya tradisional, sehingga menghasilkan hibriditas kultural (Bhabha, 1994).
Kondisi itulah yang menjadikan diri mereka subjek yang tak terpusat atau terbelah, dalam artian tidak ada subjek yang sepenuhnya modern ataupun sepenuhnya tradisional. Masih menurut Bhabha, dalam ranah sastra poskolonial, anggitan (construction) terkait ketidakterpusatan subjek tersebut banyak direpresentasikan dalam karya sastra (Bhabha dan Comaroff, 2002: 24-25).
Sementara, pemikiran pascakolonialisme memosisikan ketidakterpusatan subjektivitas sebagai siasat subversif terhadap kuasa dominan penjajah/Barat, dalam tulisan ini saya berargumen bahwa dalam narasi sastra ia bisa juga digunakan untuk membaca bagaimana subjek naratif dan praktik diskursif dalam karya sastra `mencairkan’ budaya tradisonal dan negara.
`Mencairkan’ dalam konteks tulisan ini saya maknai sebagai sebuah usaha diskursif untuk membuat pengetahuan formal tentang sesuatu menjadi cair, tidak kaku, dan, pada saat bersamaan, bisa mengganggu ataupun meresistensinya.
Pembacaan terhadap kondisi sosio-historis-seperti keberlangsungan sistem budaya dan ekonomi-politik dalam masyarakat-menjadi penting sebagai latar yang melahirkan sebuah karya sastra.