Mengingat-Kembali
Mengingat-kembali bagaimana pada tahuan 1984 sampai dengan 1987 warga di desa saya berjubel menonton TVRI di setiap malam minggu merupakan cara sederhana untuk membaca-ulang bagaimana masyarakat desa belajar menyaksikan dan memaknai kehidupan modern.Â
Saya sendiri, pada masa itu, meskipun sudah duduk di bangku sekolah dasar, masih belum paham arti kata modern. Yang saya tahu waktu itu dari TVRI adalah  bahwa di kota orang-orang mengendarai sepeda motor dan mobil, banyak gedung bertingkat, jalannya beraspal, dan para pemain film dan penyanyi memakai pakaian yang bagus.
Selain itu, anak-anak sekolah mengenakan seragam dan sepatu bagus, dan makanan di atas meja terlihat sangat enak. Indahnya kehidupan kota tentu sangat berbeda dengan keterbatasan hidup yang saya dan kawan-kawan sebaya di desa.
Masing-masing orang memang memiliki pengalaman terkait bagaimana memaknai, memimpikan, dan merasakan kehidupan modern di ruang desa pada era 80-an.Â
Menjadi modern dalam makna paling sederhana adalah ketika pada masa kecil ibu membelikan saya baju baru di pasar "pahing" kecamatan menjelang lebaran dan dalam banyak kesempatab berkata,"Kamu harus sekolah biar jadi anak pintar."Â
Belajar menjadi modern adalah ketika saya duduk di bangku SD dan para guru mengajarkan baca, tulis, serta berhitung sembari memberikan wejangan tentang pentingnya pendidikan.Â
Berusaha menjadi modern adalah ketika saya dan kawan- kawan menonton cantik dan tampannya para pemain film di televisi; ketika saya berkhayal suatu saat bisa berkunjung ke kota; ketika kami mengerumuni mainan yang dibawa cucu seorang tetangga dari kota; dan ketika kami mulai mengenal istilah pacar dan pacaran dari Film Cerita Akhir Pekan di TVRI.
Tulisan ini merupakan usaha untuk membaca-kembali peristiwa-peristiwa yang saya alami di masa kecil terkait pengalaman pribadi dan kolektif masyarakat dalam memaknai dan menikmati modernitas  yang berlangsung di ruang desa, tepatnya di Dusun Sambiroto, Desa Karangsambigalih, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.Â
Setting 80-an saya pilih karena  pada masa itulah, masyarakat desa, di satu sisi, mulai masuk ke dalam pertanian kapitalis sebagai konsekuensi dari percepatan pembangunan, dan, di sisi lain, mulai merasakan sebagian aspek modernitas.Â