Paling tidak, dengan ijazah SMP dan SMA mereka bisa menjadi pekerja pabrik atau pelayan toko di kota, seperti Surabaya. Sementara, bagi yang berijazah sarjana atau diploma, diharapkan bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebuah profesi yang sangat diidamkan oleh masyarakat pada waktu itu dan berlanjut hingga saat ini. Para guru dengan telaten mengajari baca, tulis, dan hitung.Â
"Ini Budi, Ini Adik Budi, Ini Bapak Budi, dan Ini Ibu Budi," menjadi kalimat sehari-hari yang harus kami pelajari sewaktu duduk di kelas 1, selain "1 + 1 = 2," tentunya.Â
Di sela-sela pelajaran, para guru selalu mengatakan bahwa sekolah itu penting agar bisa jadi pintar, masa depan kami lebih baik, bisa maju, dan lebih makmur. Maka, bagi masyarakat desa, pendidikan merupakan rezim kebenaran yang secara ajeg mengarahkan pikiran orang tua dan anak-anak untuk menemukan kemajuan di era pembangunan.
Bagi saya dan kawan-kawan sepermainan, hal yang paling terasa dari Revolusi Hijau adalah bergantinya bahan pangan. Ketika masih menggunakan sistem pertanian tadah hujan, kami tidak sepanjang tahun bisa menikmati nasi putih karena padi hanya panen sekali dalam setahun.Â
Nasi jagung dan nasi gebingan (berasal dari singkong kering yang ditumbuk setengah halus dan dimasak) adalah makanan pokok ketika beras sudah habis. Setelah sistem pertanian modern berkembang, sepanjang tahun kami makan nasi putih. Nasi putih menjadi penanda lain dari kemajuan masyarakat desa.Â
Selain itu, makanan ringan buatan pabrik mulai biasa kami konsumsi dan perlahan-lahan menggeser selera kami terhadap thiwul (penganan dari gebingan dicampur gula merah) dan puli (penganan dari sisa nasi putih yang dihaluskan dan diberi garam bleng).Â
Kebiasaan memakan nasi putih belakangan menjadikan ketahanan pangan masyarakat desa sangat rentan ketika panen gagal, karena mereka sudah tidak biasa lagi mengonsumsi makanan dari bahan lain.
Masuknya listrik dalam kehidupan desa juga membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sosio-kultural anak- anak. Saya dan kawan-kawan tidak perlu lagi memaksa mata untuk membaca dalam keremangan cahaya ublik (lampu berbahan minyak tanah yang dibuat dari botol).Â
Keterpesonaan kami terhadap bulan purnama dan cerita tentang bidadari yang tengah memangku anaknya mulai lenyap karena kami tidak lagi hidup dalam kegelapan dusun. Permainan tradisional seperti sengedan-sengedanan atau jumpritan tidak lagi kami mainkan ketika purnama karena menonton TVRI ternyata lebih mengasyikkan.Â
Jumpritan adalah permainan yang dilakukan anak-anak lelaki. Kami membagi diri ke dalam dua kelompok. Besar kecilnya anggota kelompok tergantung jumlah anak-anak yang hadir.Â