Setali dua uang, birokrat dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi asing, termasuk produk-produk industri budaya ke ruang lokal. Akibatnya, masyarakat lokal, dari hari ke hari, semakin terbiasa dengan produk-produk budaya beraroma asing.Â
Terdapat anggapan bahwa kondisi itulah yang menyebabkan mundurnya atau semakin tersisihnya keragaman budaya lokal dari ruang kultural masyarakat. Di samping itu, produk-produk industri budaya seperti musik, film, dan program televisi yang digerakkan kekuatan modal di ibu kota semakin dekat dengan budaya global bernuansa Barat.
Memang produk industri budaya di negara pascakolonial tetap mengusung semangat lokalitas (negara dibayangkan sebagai lokal), terutama ditandai dengan penggunaan bahasa nasional dalam produksi teksnya. Namun demikian, genre, style, maupun aliran yang dibawakan oleh entertainer ibu kota jelas meniru apa-apa yang disuguhkan industri budaya di Hollywood maupun Eropa.Â
Hibriditas kultural di level nasional ini menjadi penanda bagi lahirnya budaya kontemporer yang dengan bermacam usaha estetik, pencitraan, distribusi, dan pemasaran dianggap mampu menjadi "tuan rumah di negeri sendiri. Aroma percampuran gaya Barat dalam produk industri budaya nasional jelas merupakan realitas kultural yang tidak bisa dielakkan lagi.Â
Meskipun realitas tiruan seringkali diwacanakan sebagai hasil kreativitas anak negeri, secara eksplisit adaptasi dan kontekstualisasi unsur-unsur budaya Barat sangat kentara dan mewarnai produk-produk budaya yang dihasilkan perusahaan-perusahaan di level nasional.Â
Inilah yang kemudian bisa dibaca sebagai pola hegemoni kultural Barat melalui lahirnya budaya-budaya global yang cenderung diikuti oleh teks dan praktik kebudayaan di negara-negara pascakolonial. Â
Model kuasa hegemonik memang selalu memberikan ruang bagi  negosiasi dan artikulasi kepentingan-kepentingan strategis masing-masing kelas yang terlibat sehingga akan membentuk "kelas pemimpin" sebagai "blok historis" yang dicapai melalui konsensus dan untuk selanjutnya akan diwarnai oleh kepemimpinan kultural, intelektual, dan moral (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau & Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16).Â
Dalam perspektif hegemoni kultural, para kreator di negara-negara Dunia Ketiga, memang mempunyai kebebasan untuk berkarya sesuai dengan konteks lokalitasnya masing-masing. Namun, apa yang harus diingat adalah bahwa kreator yang lahir dalam level nasional rata-rata berasal dari generasi yang lebih sering menikmati produk-produk budaya Barat.Â
Wacana dalam teks-teks budaya Barat seperti sudah menjadi santapan sehari-hari, sehingga membentuk formasi diskursif yang menjadikan subjek-subjek pascakolonial tidak bisa terlepas dari jejaringnya sehingga menjadikan dan merujuk teks-teks tersebut sebagai rezim kebenaran yang membentuk pengetahuan bagi mereka.Â