Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Politik Budaya Hibrid: Beberapa Pembacaan

5 April 2023   05:46 Diperbarui: 9 April 2023   06:37 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengantar

Sebagai sebuah realitas kultural, masyarakat pascakolonial di era globalisasi memang tidak mungkin kembali ke dalam kehidupan purba, ketika teknologi aksara dan mesin belum muncul, ketika teknologi lisan masih menjadi raja bagi kehidupan budaya

Mereka adalah masyarakat yang setiap hari mendapatkan dan menikmati produk-produk budaya global dalam aktivitas sosio-kultural, di samping keinginan untuk tetap menjalankan budaya lokal mereka. Ketika mereka menjalani kehidupan sebagai sang hibrid, sangat mungkin muncul operasi kuasa dan potensi politik, baik yang sadari atau tidak. 

Operasi kuasa di balik sang hibrid bisa jadi digunakan pihak Barat untuk terus menanamkan pengaruh diskursif kultural mereka ke dalam kehidupan kultural masyarakat lokal, melalui hegemoni yang tidak kentara sebagai kuasa karena ada kesepakatan-kesepakatan dari pihak lokal untuk menganggap dan memposisikannya sebagai rezim kebenaran. 

Meskipun masyarakat lokal masih mampu menegosiasikan gagasan dan praktik kultural mereka, namun sebagian praktik tersebut sudah dipengaruhi oleh produk-produk budaya global yang sangat Barat. 

Di sisi lain, dengan menjadi sang hibrid, masyarakat lokal sangat mungkin bisa melakukan politik untuk terus menegosiasikan gagasan, praktik, dan makna kultural mereka di tengah-tengah budaya global, meskipun akan kehilangan sebagian dari budaya yang ada. 

Dengan demikian mereka akan terus bisa berkontestasi di ruang antara sebagai strategi survival, di mana budaya global tidak bisa sepenuhnya menaklukkan mereka karena keliatan strategi hibrid yang dijalankan.

Hibriditas Budaya dan Hegemoni 

Salah satu kekhawatiran besar akibat membanjirnya produk-produk Barat melalui mesin ekonomi dan perdagangan yang dibawa globalisasi adalah semakin kuatnya pengaruh diskursif budaya Barat ke dalam kehidupan masyarakat lokal. 

Budaya lokal dibayangkan akan semakin tergerus akibat masyarakat lebih memilih dan menyukai budaya Barat dan turunan-turunannya dalam konteks nasional yang bersifat lebih dinamis dan modern. Hal itu diperparah dengan ketidakberpihakan aparat birokrat dalam membela kepentingan dan eksistensi budaya lokal. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Setali dua uang, birokrat dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi asing, termasuk produk-produk industri budaya ke ruang lokal. Akibatnya, masyarakat lokal, dari hari ke hari, semakin terbiasa dengan produk-produk budaya beraroma asing. 

Terdapat anggapan bahwa kondisi itulah yang menyebabkan mundurnya atau semakin tersisihnya keragaman budaya lokal dari ruang kultural masyarakat. Di samping itu, produk-produk industri budaya seperti musik, film, dan program televisi yang digerakkan kekuatan modal di ibu kota semakin dekat dengan budaya global bernuansa Barat.

Memang produk industri budaya di negara pascakolonial tetap mengusung semangat lokalitas (negara dibayangkan sebagai lokal), terutama ditandai dengan penggunaan bahasa nasional dalam produksi teksnya. Namun demikian, genre, style, maupun aliran yang dibawakan oleh entertainer ibu kota jelas meniru apa-apa yang disuguhkan industri budaya di Hollywood maupun Eropa. 

Hibriditas kultural di level nasional ini menjadi penanda bagi lahirnya budaya kontemporer yang dengan bermacam usaha estetik, pencitraan, distribusi, dan pemasaran dianggap mampu menjadi "tuan rumah di negeri sendiri. Aroma percampuran gaya Barat dalam produk industri budaya nasional jelas merupakan realitas kultural yang tidak bisa dielakkan lagi. 

Meskipun realitas tiruan seringkali diwacanakan sebagai hasil kreativitas anak negeri, secara eksplisit adaptasi dan kontekstualisasi unsur-unsur budaya Barat sangat kentara dan mewarnai produk-produk budaya yang dihasilkan perusahaan-perusahaan di level nasional. 

Inilah yang kemudian bisa dibaca sebagai pola hegemoni kultural Barat melalui lahirnya budaya-budaya global yang cenderung diikuti oleh teks dan praktik kebudayaan di negara-negara pascakolonial.  

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Model kuasa hegemonik memang selalu memberikan ruang bagi  negosiasi dan artikulasi kepentingan-kepentingan strategis masing-masing kelas yang terlibat sehingga akan membentuk "kelas pemimpin" sebagai "blok historis" yang dicapai melalui konsensus dan untuk selanjutnya akan diwarnai oleh kepemimpinan kultural, intelektual, dan moral (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau & Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16). 

Dalam perspektif hegemoni kultural, para kreator di negara-negara Dunia Ketiga, memang mempunyai kebebasan untuk berkarya sesuai dengan konteks lokalitasnya masing-masing. Namun, apa yang harus diingat adalah bahwa kreator yang lahir dalam level nasional rata-rata berasal dari generasi yang lebih sering menikmati produk-produk budaya Barat. 

Wacana dalam teks-teks budaya Barat seperti sudah menjadi santapan sehari-hari, sehingga membentuk formasi diskursif yang menjadikan subjek-subjek pascakolonial tidak bisa terlepas dari jejaringnya sehingga menjadikan dan merujuk teks-teks tersebut sebagai rezim kebenaran yang membentuk pengetahuan bagi mereka. 

Akibatnya, hasil kreativitas mereka pada akhirnya cenderung meniru dan memosisikan yang Barat sebagai kemutlakan yang sekaligus menandakan eksistensi mereka dalam jejaring "kewarganegaraan kosmopolitan" (Smith, 2007: 38-39) yang diyakini bisa memberikan pencerahan dengan beragam keyakinan bahwa yang lokal bisa memberikan warna bagi yang global, meskipun yang lokal kemudian menjadi sangat terikat dengan yang global. 

Produk-produk budaya yang dihasilkan dalam level industri kreatif nasional memang selalu diposisikan sebagai kreasi anak negeri yang bersifat hibrid. Namun, apabila diperhatikan lagi sifat hibrid itu hanyalah terwakili oleh elemen kebahasaan yang dianggap menandakan identitas bangsa, sementara genre dan style tetaplah menjadi Barat. 

Hibridisasi kultural yang terjadi kemudian lebih mengarah pada transformasi kultural yang dalam banyak kasus telah memotong akar tradisi dan kultural yang ada sebelumnya. Flusty (2004: 109) menjabarkan hibriditas kultural sebagai wujud identitas personal dan kolektif baru dari kombinasi baru yang berasal dari atribut, praktik, dan pengaruh kultural yang berbeda. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts
Budaya hibrid muncul dari kondisi yang terlepas dari akar dan tanpa tempat asal. Ketidaksinambungan yang diimplikasikan hibridisasi membuahkan hasil-hasil yang beragam, bahkan kontradiktif. 

Dalam terma positif, hibridisasi bisa jadi menghasilkan, semisal, tawaran-tawaran kultural yang lebih luas dan sebuah tantangan terhadap sifat-sifat yang sudah mapan tentang ras; negatifnya, hal itu bisa berasosiasi dengan perpindahan, hilangnya tradisi, dan permasalahan sosial.

Memang hibridisasi kultural yang sedikit demi sedikit menciptakan keterpisahan dengan budaya lokal dari sebuah bangsa lebih banyak terjadi di pusat-pusat kota yang lebih dekat dengan lalu-lintas budaya global. 

Impian-impian kultural yang teurs-menerus membayangkan kosmopolitanisme benar-benar menciptakan percampuran-percampuran yang seolah-olah menciptakan ketiadaan batas etnisitas, namun di balik itu, orang-orang menjadi tercerabut dari ikatan-ikatan sosio-kultural dengan kearifan maupun bentuk-bentuk budaya dari generasi-generasi sebelumnya. 

Maka, budaya global yang diyakini beragam, nyatanya tetap diwarnai oleh hegemoni budaya Barat dengan porosnya Hollywood dan Eropa.   

Ironisnya, realitas peniruan terhadap budaya Barat pada beberapa bidang kehidupan nyatanya tidak bisa menghasilkan hibriditas budaya bagi bangsa poskolonial. Memang pada masa-masa awal kemerdekaan, masyarakat poskolonial dianggap mampu melakukan pembacaan ulang dengan budaya masa lampau (kolonial) untuk kepentingan nasional pascakemerdekaan. 

Mereka berusaha untuk menemukan identitas baru yang tidak sepenuhnya menyalahkan masa lampau kolonial, namun juga melakukan 'penyelamatan' terhadapa budaya-budaya lokal dan kolonial untuk memproduksi bentuk-bentuk yang sesuai sehingga bisa merepresentasikan realitas pascakolonial. 

Dengan demikian identitas pascakolonial bersifat ironis, kontradiktif, dan ragu-ragu, diwarnai oleh 'ketidakaslian' yang dibentuk oleh identifikasi secara relatif terhadap budaya penjajah dan penolakan terhadapnya (Kusno, 2000).

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Ambivalensi hibriditas tersebut menunjukkan ketidakmampuan masyarakat pascakolonial untuk keluar dari jejaring diskursif pengaruh asing apalagi di era globalisasi saat ini. Kondisi itu tampak sekali misalnya pada tatanan budaya kota-kota pascakolonial. 

Yeoh (2001: 8), merefleksikan pendapat Dick dan Hammer, memaparkan bahwa dalam konteks Asia Tenggara terjadi peningkatan polarisasi sosial dengan adanya ekspansi kelas menengah. 

Juga terjadi ketergantungan tinggi terhadap pakar-pakar asing dalam hal desain dan perencanaan tata kota. Kota pascakolonial sebagai tipe yang berbeda merupakan 'pengalaman yang tidak biasa' dan akan segera hilang oleh kecenderungan kota yang mengglobal.

Perkembangan terkini mall, plaza, apartemen mewah, resort, lapangan golf, dan lain-lain hanya meniru secara mentah-mentah dari model Barat dan sekedar memindahkannya ke ruang geografis pascakolonial. 

Masyarakat yang sudah bisa memasuki atau mendiami ruang-ruang baru tersebut akan mendapatkan pengalaman-pengalaman kultural yang semakin mendekatkan mereka kepada kecenderungan menjadi Barat. 

Akibatnya, masyarakat semakin biasa meniru, tanpa bisa memberikan penekanan dan evaluasi kritis dari apa-apa yang mereka tiru. Dalam kondisi tersebut hegemoni kultural terhadap masyarakat pascakolonial yang sudah masuk jejaring globalisasi dan budaya global semakin kentara dan terasa dalam aspek, konsep, impian, bentuk, dan praktik kultural.  

Hibriditas Budaya dan Penguatan Lokalitas

Para pemikir yang memandang ‘agak positif’ terhadap globalisasi seringkali berargumen bahwa kuatnya pengaruh globalisasi telah menghasilkan proses, praktik, dan teks kultural baru yang ditandai dengan kemunculan neolokalisme atau lokalisasi. 

Pandangan ini membayangkan adanya kebangkitan budaya lokal melalui pembaruan bernuansa hibrid sebagai respons kreatif terhadap maraknya budaya global di tengah-tengah masyarakat lokal. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Schuerkens (2003) berargumen bahwa masuknya elemen-elemen budaya global ke dalam masyarakat lokal ditransformasikan selama proses integrasi dan mewujud dalam lingkungan lokal baru. Budaya global ditafsir dalam hubungannya dengan budaya lokal dan pengalaman khusus penduduk lokal.  

Budaya global disesuaikan oleh prasyarat lokal dan dipenuhi dengan muatan dan fungsi yang saling berkaitan. Masyarakat lokal mengambil dan membentuk kembali budaya metropolitan untuk keperluan mereka sendiri. 

Namun, proses penyesuaian dan transformasi dari elemen-elemen kultural yang ada mengarah pada munculnya sesuatu yang baru dan unik.  Pertemuan lokal dengan elemen-elemen kultural yang berbeda menandakan kreasi bentuk-bentuk budaya, gaya hidup, dan representasi baru. 

Dalam konteks budaya global, hal itu menandakan keragaman budaya global: namun keragaman yang dihasilkan dari jejaring kultural global terkini, dari penyesuaian kultural dari elemen-elemen eksternal oleh penduduk lokal dan dari percampuran kreatif elemen-elemen global dengan makna dan bentuk budaya lokal.  

Ketika masyarakat lokal semakin terbiasa dengan budaya global yang dinikmati dalam kehidupan sehari-hari, pada saat bersamaan mereka juga masih mempunyai kerinduan akan nuansa kedirian lokal yang mengendap dan berusaha untuk dimunculkan. 

Namun demikian, untuk memunculkan yang sepenuhnya lokal adalah kemustahilan dan mungkin hanya dapat dilakukan oleh segelintir masyarakat lokal. Akibatnya, interpretasi terhadap budaya global dalam konteks lokalitas menjadi pilihan strategis untuk mempertahankan budaya lokal yang masih bisa dinegosiasikan dalam konteks sosio-kultural kontemporer.

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Proses percampuran kultural memang tidak bisa dihindari lagi. Masyarakat lokal dengan cara pembacaan dan interpretasinya masing-masing berusaha secara kontinyu untuk membuka ruang dialektika dengan elemen-elemen baru yang berasal dari dunia luar. 

Usaha tersebut merupakan strategi untuk terus-menerus menegaskan identitas lokal sehingga mampu bergerak dan berkembang mengikuti arus transformasi yang tidak bisa dibendung lagi. Produk-produk budaya hibrid memang tercipta sebagai bentuk kreasi kultural yang mampu mempertemukan aspirasi lokalitas dan kecenderungan global. 

Masyarakat lokal, dengan demikian, tidak lagi memosisikan budaya Barat maupun budaya global sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan dan keberlanjutan budaya lokal mereka masing-masing. 

Mereka memposisikan budaya global sebagai tantangan yang harus dimaknai, dirombak, direkonstruksi, diramu, dan di-lokal-kan, bukan untuk kepentingan hegemoni budaya global, tetapi untuk kepentingan budaya lokal yang mesti terus diusahakan eksistensinya.

Masyarakat lokal, dengan demikian, berhasil melakukan pembacaan dan interpretasi dekonstruksi terhadap kemapanan struktur, bentuk, dan formasi diskursif dari budaya global yang sampai ke mereka. Budaya global memang kuat dan sudah menjadi rezim kebenaran baru yang diakui di seluruh dunia. 

Mereka memang masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan warga lokal. Mereka memang ditopang oleh kekuatan modal yang masuk melalui investasi modal maupun perusahaan transnasional di negara-negara berkembang. Sebagai struktur bentuk dan makna, teks budaya global tidaklah utuh sepenuhnya. 

Artinya, masih terdapat celah-celah di dalam struktur teks di mana masyarakat lokal bisa menunda dan memecah-mecah keutuhan struktural dan makna dari budaya global untuk kemudian memasukkan atau mencampurkan elemen-elemen budaya lokal sehingga membentuk budaya baru yang bersifat dialogis dan campur-aduk. 

Hal serupa juga mereka lakukan terhadap budaya lokal sehingga terdapat proses resiprokal antara yang lokal dan yang global untuk menciptakan sang hibrid. 

Seringkali, bagi para kreator di tingkat lokal, kekayaan budaya lokal merupakan sumber inspirasi kreatif dalam perkembangan industri kreatif  yang bernuansa hibrid. 

Dengan penyerapan dan adaptasi dari elemen-elemen lokalitas dan percampuran dengan elemen-elemen budaya Barat, maka akan muncul produk-produk hibrid yang terus-menerus mampu menciptakan jenis budaya baru bagi selera estetik masyarakat. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts
Negara-negara pascakolonial/berkembang, baik Asia maupun Afrika, sebenarnya mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengarah pada perkembangan industri kreatif karena memiliki keragaman budaya lokal yang menunggu untuk diberikan sentuhan-sentuhan baru. 

Dengan melahirkan produk-produk baru bernuansa hibrid tersebut, masyarakat lokal juga bisa berkontestasi untuk perjuangan eksistensial di tengah-tengah budaya global dan sekaligus menunda atau bahkan meresistensi popularitas budaya global yang banyak bernuansa Barat. 

Dengan mensintesakan budaya lokal dan budaya global bernuansa Barat dalam ‘ruang pertemuan kreatif’, masyarakat lokal bisa mengambil keuntungan politis dari budaya hibrid, yakni negosiasi terus-menerus potensi dan praktik kultural mereka di tengah-tengah transformasi sosio-kultural. 

Namun demikian, untuk bisa mencapai level budaya hibrid yang memberdayakan kepentingan budaya lokal, maka dibutuhkan kreativitas dan kesadaran serta keyakinan ideologis dari masyarakat terhadap keutamaan dan kedinamisan budaya yang mereka miliki. 

Keyakinan ideologis bisa muncul ketika teks dan praktik budaya tidak sekedar menjadi dogma yang dikuasai oleh segelintir elit lokal, tetapi mampu menjadi representasi riil yang tersebar melalui beragam mekanisme, medium, dan institusi.

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts
Dengan formasi demikian, budaya mampu menjadi kesadaran dan membentuk kognisi sosial masyarakat untuk selalu merujukkan tindakan dan perilaku sosio-kulturalnya kepada konstruksi wacana yang ada dalam budaya lokal.

Ketika budaya lokal sudah menjadi keyakinan ideologis, dan bukan sekedar selebrasi-selebrasi untuk memenuhi formalitas, maka mereka akan bisa dimaknai secara dinamis oleh para pendukungnya dalam konteks perkembangan zaman yang semakin transformatif. 

Bentuk-bentuk kreativitas baru yang bernuansa hibrid akan bisa diterima dan diposisikan tidak sedang menggusur budaya lokal, karena mereka menyadari tindakan tersebut sebagai bentuk negosiasi kultural untuk memperkuat nilai tawar budaya lokal dan untuk tidak sekedar tunduk dan menyerah pada tawaran budaya global beraroma Barat. 

Hibridisasi Kultural dan Diaspora

Migrasi penduduk etnis atau ras tertentu dari negara bekas jajahan atau negara berkembang ke negara induk atau negara maju telah melahirkan komunitas-komunitas kultural yang disebut diaspora. 

Meskipun pada awalnya kelahiran diaspora digunakan untuk menandai migrasi global kaum Yahudi ke belahan-belahan dunia yang lebih maju dan bisa menjamin kemerdekaan religius mereka setelah penaklukan terhadap tanah Palestina oleh Babilonia dan Romawi, tetapi saat ini istilah tersebut telah meluas dan tidak lagi sebatas persoalan religi. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Hall (dikutip oleh Sinclair & Cunningham, 2000: 23) menjelaskan bahwa eksistensi kaum diasporik tidak bisa dilepaskan dari hibriditas budaya yang mereka alami di negara induk. Diaspora-diaspora baru yang terbentuk di seluruh dunia dipaksa untuk menghuni paling tidak dua identitas, berbicara minimal dua bahasa. 

Diaspora adalah produk dari hibriditas kultural. Sang hibrid terikat jejaring yang kuat pada dan identifikasi dengan tradisi dan tempat asal mereka. Namun, mereka tidak mempunyai ilusi untuk kembali secara nyata kepada kemasalampuaan. Mereka tidak akan pernah kembali, dalam makna literal apapun. 

Apalagi, tempat asal mereka juga sudah bertransformasi dari semua pemaknaan awal sebagai akibat proses yang begitu  kuat dari transformasi modernisme. Dalam pemaknaan tersebut, tidak ada pembicaraan untuk kembali ke budaya asli. Memang, mereka masih membawa jejak-jejak partikular dari budaya, tradisi, bahasa, sistem keyakinan, teks, dan sejarah yang membentuk mereka.

Namun, mereka juga harus mengadopsi nilai dan praktik budaya dominan kulit putih di metropolitan yang mereka hadapi tanpa harus secara mudah larut sepenuhnya. Jadi, di satu sisi, mereka belum terpisah sepenuhnya dari budaya lama di negara asal, tetapi mereka juga berkaitan erat dengan budaya metropolitan. 

Secara metaforis bisa dikatakan mereka memiliki "banyak rumah," sehingga tidak ada satu "rumah spesial." Mereka adalah produk dari kesadaran diasporik. Mereka harus masuk ke terma-terma dengan fakta bahwa dalam jagat modern di wilayah metropolitan identitas selalu menjadi permainan terbuka, kompleks, dan tidak pernah selesai; selalu berada dalam konstruksi.

Senada dengan paparan Hall, Rinderle (2005: 296) menjelaskan diaspora sebagai kelompok yang bisa diidentifikasi bertempat tinggal di sebuah wilayah geografis lain yang mengalami bukan hanya kepindahan secara fisik, tetapi juga hibriditas kultural. Di satu sisi mereka merindukan tanah kelahiran, tetapi juga terasing dari masyarakat induk tempat mereka tinggal. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Diaspora menghadirkan relasi yang kompleks antara tanah kelahiran dan negara induk serta identitas kolektif yang secara luas didefinisikan oleh relasi antara budaya di tanah kelahiran dan budaya di negara induk.

Dari pemikiran-pemikiran tersebut diaspora bisa dibaca kelompok masyarakat tertentu yang berusaha untuk melakukan pembacaan dan interprertasi terhadap kondisi-kondisi kultural baru yang mereka lihat, alami, dan rasakan di negara atau wilayah baru. 

Perasaan terasing dari praktik kultural yang terjadi di negara baru dan memori kolektif akan praktik kultural di tanah kelahiran tersebut menjadikan mereka selalu merindukan budaya asal di tanah air. Namun, mereka juga tidak mungkin lepas dari jejaring budaya baru yang mereka hadapi. 

Artinya, warga diasporik perlu menegosiasikan budaya asal sembari berusaha mengartikulasikan budaya baru sehingga mereka melakukan hibridisasi kultural. 

Praktik tersebut mengimplikasikan ambiguitas yang mengkontestasi ide tentang stabilitas identitas budaya dan konsep negara bangsa yang saling terpisah. Ambiguitas, transformasi, dan kekaburan batas merupakan bagian integral dari pengalaman diasporik (Rinderle, 2005: 297).

Hibridisasi kultural bagi komunitas diasporik menjadi keniscayaan yang harus terus dinegosiasikan dan dijalani, meskipun dalam kasus-kasus tertentu seringkali menimbulkan konflik antara generasi pertama diasporik dengan generasi berikutnya. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Budaya hibrid bisa dilihat, misalnya, dari produk-produk dan praktik kultural yang dihasilkan seperti film, karya sastra, dan percampuran bahasa asal dan induk yang menciptakan kreolisasi, tradisi pernikahan, dan lain-lain.

Memang, komunitas diasporik pada awalnya lahir dengan bermacam alasan, baik religi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Migrasi atas nama religi, misalnya, dilakukan oleh komunitas Yahudi ketika kemerdekaan mereka dalam beribadah terganggu oleh ekspansi kerajaan Babilonia dan Romawi, meskipun mereka juga punya motivasi ekonomi. 

Para buruh migran juga menjadi mempunyai motivasi ekonomi untuk memperbaiki nasib karena di tanah kelahiran mereka mengalami penderitaan ekonomi. Para pencari suaka politik dari negara-negara yang sedang berkonflik berusaha tinggal di negara-negara maju yang kehidupan demokrasinya dianggap mampu menjami kebebasan politik mereka. 

Ketika mereka sudah mapan di negara-negara tujuan, mereka tidak mungkin bisa lepas dari jejaring kultural yang mereka alami setiap hari. Hibridisasi kultural, dengan demikian, tidak terhindarkan lagi karena mereka adalah “manusia-manusia di antara” yang selalu bermimpi akan kesejahteraan dan jaminan masa depan serta keindahan kemasalampuan.

Komunitas diasporik, dengan demikian, melakukan politik kultural untuk melanjutkan eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat baru. Dengan meniru praktik dan gaya budaya masyarakat baru, mereka mengidentifikasi diri sebagai bagian dari masyarakat tersebut sehingga akan mendapatkan pengakuan dari anggota masyarakat yang lain. 

Pengakuan sosial merupakan faktor yang sangat penting bagi para pendatang diasporik karena meskipun masyarakat baru tersebut bersifat multikultural, tetapi pasti terdapat nilai-nilai dan praktik kultural yang dianggap berlaku bagi anggota masyarakatnya, sehingga anggota masyarakat baru tetap harus beradaptasi dan menerapkan nilai dan praktik tersebut. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Dengan menjadi bagian dari masyarakat dan budaya baru, tanpa meninggalkan semua yang asal, menciptakan komunitas diasporik yang memainkan strategi sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan survival dan kontestasi, baik di negara atau wilayah baru dan negara atau wilayah asal.

Vertovec (1999) menjelaskan pemaknaan diaspora dalam peran sosial, ekonomi, dan politik melalui kontekstualitasnya masing-masing. Strategi sosial komunitas diasporik lahir ketika mereka masih mempunyai kerinduan terhadap identitas kultural dan kolektivitas sosial asal karena tidak bisa beradaptasi sepenuhnya dengan masyarakat baru. 

Dampaknya, muncul jejaring dan solidaritas etnis di wilayah atau negara baru. Kekuatan solidaritas kultural merupakan salah satu modal penting untuk membangun kekuatan ekonomi baru di tanah rantau. 

Pemahaman akan kolektivisme menjadikan mereka melakukan aktivitas ekonomi berbasis kesamaan etnis dengan skala global sehingga perputaran uang dan usaha berimplikasi pada kekuatan keluarga, kekerabatan yang meluas, maupun jejaring etnis. 

Perpaduan kekuatan sosio-kultural dan kekuatan ekonomi-modal menjadikan komunitas diasporik mempunyai peran politik yang seringkali dibingkai sebagai setrategi politik yang berpengaruh pada negara induk maupun negara asal. 

Komunitas Yahudi di Amerika dan Eropa, misalnya, bisa menjadi kelompok penekan dan kelompok lobi yang ikut mewarnai dinamika politik, baik di Amerika Serikat dan Eropa Barat maupun di Israel dan Palestina. Bahkan, kelompok diasporik juga sangat berperan dalam konflik-konflik politik yang terjadi di negara asal. 

Perbincangan tentang komunitas diasporik dan hibridisasi kultural di atas memang lebih mengarah pada konteks migrasi dan globalisasi. 

Apa yang harus diperhatikan adalah komunitas-komunitas diasporik tidak hanya muncul dalam arus besar globalisasi, tetapi bisa juga muncul dalam berkembang dalam konteks migrasi lokal (dalam satu negara) yang terjadi dalam satu negara, apakah karena alasan ekonomi, politik, maupun sosio-kultural. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Migrasi etnik tertentu ke wilayah etnik lain yang mayoritas, banyak juga menciptakan komunitas-komunitas diasporik-lokal yang secara pasti memunculkan praktik kultural sehingga semakin menambah keragaman budaya yang ada. 

Harapan akan kemakmuran ekonomi dan pengakuan sosial seringkali memunculkan strategi kultural untuk meniru perilaku kultural dari etnis mayoritas yang dipandang lebih superior karena kemapanannya selama ini. 

Proses peniruan tersebut, tentu saja, tidak pernah berlangsung sempurna karena mereka masih memegang beberapa prinsip dan elemen dasar budaya asal, seperti bahasa, ritual, maupun seni tradisi-lokal.

Namun demikian, hibridisasi kultural dalam komunitas diasporik-lokal, terkadang tidak berlangsung secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari. Ada kalanya hibridisasi tersebut berlangsung dalam konteks-konteks partikular, semisal ketika komunitas diasporik tersebut bertemu dengan anggota dari etnis mayoritas. 

Hal itu menjadi bentuk negosiasi dan strategi untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari etnis mayoritas bahwa mereka adalah bagian yang sah dari masyarakat yang dihuni etnis tersebut. Etnis mayoritas sendiri, pada dasarnya, juga masih menyisakan ‘ketidakrelaan’ terhadap perilaku hibrid tersebut karena mereka masih saja membayangkan diri dan budaya mereka lebih unggul. 

Komplikasi dari permasalahan tersebut, menyebabkan komunitas diasporik tidak sepenuhnya menjalankan hibridisasi kulturalnya, sehingga di ruang domestik, baik rumah maupun lingkungan tempat tinggal, mereka akan kembali mempraktikkan tradisi kultural asal, meskipun juga sudah tidak sepenuhnya sama.

Hibriditas Budaya Berlapis

Perbincangan tentang hibriditas kultural yang cenderung memposisikan ‘yang Barat’ dan ‘yang Timur’ seringkali menyisakan persoalan diskursif yang belum menyentuh permasalahan sebenarnya di ruang lokal. 

Mengapa? Karena persoalan hibridisasi kultural di ruang lokal tidak semata-mata tentang percampuran kultural antara yang Barat dan yang Timur, tetapi juga melibatkan pengaruh-pengaruh diskursif dari agama dan religi tertentu yang berasal dari luar masyarakat.

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts
Meskipun banyak pakar memisahkan persoalan agama dari budaya, tetapi kenyataannya, teks dan praktik agama mampu mempengaruhi konstalasi sosio-kultural yang berkembang dalam masyararakat lokal. Beberapa agama yang ‘diimpor’ dari luar dan sudah menjadi mayoritas, sangat menentukan arah perkembangan sosio-kultural yang terus bertransformasi. 

Barat, melalui globalisasi media dan budayanya, memang menjadi faktor yang tidak bisa ditolak, tetapi nilai-nilai agama juga tidak bisa dianggap sepele dalam merekonfigurasi format sosio-kultural karena subjek-subjek yang ada memposisikan nilai-nilai tersebut sebagai kebenaran yang wajar untuk diikuti dalam praktik keseharian mereka. 

Selain itu, terdapat kecenderungan di tingkat lokal yang menunjukkan adanya penyerapan sebagian kultur yang dimiliki etnis tertentu oleh etnis lain.

Dalam konteks tersebut, telah terjadi hibridisasi kultural berlapis; sebuahproses percampuran bermacam bentuk dan praktik kultural yang berasal dari budaya global, budaya yang berasal dari ajaran agama, budaya dari etnis-etnis lain, dan budaya yang berlangsung di ruang lokal dari etnis partikular yang masih berusaha terus menegosiasikan budayanya. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Kehadiran budaya global dalam ruang kultural domestik, dalam artian keluarga, sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Televisi setiap hari menampilkan program-program bearoma global, baik yang diimpor langsung maupun yang sudah dihibridisasikan oleh productioan house dalam bentuk ‘ibu kota’, dari pagi hingga menjelang pagi lagi. 

Dalam ruang edukasi, pola pikir rasionalisme dan positivisme ala Barat menjadi acuan utama bagi lembaga-lembaga pendidikan umum, dari level desa hingga metropolitan. Sementara, lembaga-lembaga pendidikan formal yang bernuansa agama, berusaha menggabungkan pola pendidikan Barat dengan pola pendidikan yang diturunkan dari ajaran-ajaran agama yang diyakini. 

Penguatan basis keagamaan juga berlangsung secara kontinyu di tengah-tengah masuknya beragam praktik dan teks kultural global beraroma Barat. Penguatan tersebut dikelolah oleh lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal maupun yang menginginkan syariatisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Dominasi budaya dari etnis dominan dalam masyarakat juga menciptakan efek diskursif kepada etnis tertentu yang mencoba menterjemahkannya dalam budaya mereka, bersama-sama dengan beragam pengaruh budaya lain. 

Hibridisasi kultural yang dialami etnis tertentu, pada dasarnya, juga melibatkan proses, hegemoni elemen-elemen budaya dominan, resistensi terhadap budaya asal, ataupun strategis politis terus menegosiasikan budaya mereka dalam ruang transformatif masyarakat. 

Realitas tersebut menjadikan kehidupan sosio-kultural dalam ruang lokal semakin beragam dan tidak bisa lagi semata-mata ‘dibedah’ dari sudut pandang identitas budaya asal.

Simpulan: Menentukan Sikap Kultural 

Kompleksitas ‘campuraduk’ kultural yang menjadi warna kontemporer budaya masyarakat lokal memang harus dipahami sebagai proses dan praktik diskursif yang harus dikaji secara terus-menerus secara mendalam. Dengan kajian-kajian itulah, akademisi maupun peneliti tidak akan lagi terjebak pada generalisasi yang terlalu memudahkan persoalan. 

Komunitas A, misalnya, tidak bisa lagi dikatakan sepenuhnya berbudaya A, tanpa melalui proses penjelasan deskriptif-kritis dari apa-apa yang mereka representasikan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan-jangan komunitas A mempraktikkan budaya A hanya dalam rangka ritual-ritual tertentu. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah melakukan praktik kultural hibrid yang lebih banyak aroma budaya-budaya lain, sedangkan budaya mereka sendiri hanya sekedar tempelan pemanis. Atau, jangan-jangan komunitas A berapi-api mengatakan atau menunjukkan berbudaya A ketika terdapat kepentingan-kepentingan politis yang hendak diperjuangkan secara kolektif.

Yang tidak kalah penting untuk mendapatkan kritisi adalah perspektif masyarakat lokal terhadap proses hibridisasi kultural. Pertama, dengan menjadi sang hibrid, apakah mereka mampu melakukan strategi kedirian untuk terus menciptakan kreativitas-kreativitas kultural berbasis budaya lokal sehingga eksistensi budaya lokal akan terus bertransformasi. 

Kedua, ketika hibridisasi kultural tidak diimbangi dengan keyakinan ideologis dari masyarakat lokal, maka yang terjadi hanyalah hegemoni kultural oleh budaya global bernuansa Barat serta menunjukkan ketidakmampuan masyarakat lokal untuk meneruskan budaya nenek-moyangnya. 

Ketiga, ketika hibridisasi kultural mampu menjadi kesadaran ideologis untuk selalu menemukan produk-produk kreatif, maka budaya lokal pada dasarnya bisa terterima dan bertransformasi sebagai kekuatan bagi masyarakat untuk tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan kultural asing. 

Keempat, budaya hibrid bisa saja menjadi kekuatan alternatif untuk melawan konservatisme budaya lokal yang menguntungkan segelintis elit yang memperoleh keuntungan dari esensialisme kultural yang disosialisasikan secara terus-menerus. 

Sumber: Facebook Hybrid Arts
Sumber: Facebook Hybrid Arts

Pembacaan kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan di atas akan mengarahkan pada penjelasan-penjelasan akademis yang mampu membongkar realitas kultural kekinian dari sebuah masyarakat atau etnis tertentu.

Memang, hibridisasi kultural telah terjadi pada sebagian masyarakat lokal di Indonesia saat ini. Tidak harus disesali ataupun disalahkan karena alasan-alasan pemertahanan budaya lokal yang selalu diimpikan sebagai kekuatan adiluhung. Masyarakat tidak mungkin kembali kepada zaman purba di mana interaksi hanya terbatas dengan anggota kelompok. 

Masyarakat kontemporer adalah masyarakat yang dihasilkan dari saling-silang pengaruh kultural, baik yang berasal dari budaya global bernuansa Barat, nilai-nilai agama tertentu, atau superioritas etnis-etnis dominan. Dari desa hingga kota metropolitan, hibridisasi kultural dan budaya hibrid sudah menjadi kecenderungan umum yang tidak bisa disangkal lagi. 

Yang dibutuhkan kemudian adalah sikap kultural dari masyarakat lokal untuk menempatkan budaya mereka dalam ruang antara yang selalu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan di atas. Kejelasan sikap kultural itulah yang akan menentukan arah dan gerak kultural di masa mendatang. 

Artinya, konseskuensi apapun yang terjadi dari hibridisasi kultural, masyarakat mampu memahami dan meyakininya sebagai pilihan strategis bagi kehidupan mereka. Tanpa itu semua, hibridisasi kultural hanya menjadi ‘lagu lain’ dari ketidakberdayaan masyarakat dan budaya lokal dalam ruang sosio-kultural transformatif.

Daftar Bacaan

Boggs, Carl.1984. The Two Revolutions: Gramsci and the Dilemmas of Western Marxism. Boston: South End Press.

Flusty, Steven.2004. “Miscege-Nation”, dalam De-Coca-Colonisation: Making the Globe from the Inside Out. New York, Routledge.

Gramsci, Antonio. 1981. “Class, Culture, and Hegemony”, dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, & Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Kusno, Abidin.2000. Behind the postcolonial: architecture and political cultures in Indonesia. New York: Routledge.

Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe.1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Rinderle, Susan. 2005. “The Mexican Diaspora: A Critical Examination of Signifiers” dalam Journal of Communication Inquiry, Vol. 29 (4).

Schuerkens, Ulrike. 2003. “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and Localization”, dalam Journal Current Sociology, Vol. 5, No. 3/4.

Sinclair, John & Stuart Cunningham. 2000. “Go with the Flow Diasporas and the Media”, dalam Television and New Media, Vol. 1 (1).

Vertovec, Steven. 1999. “Three meanings of ‘diaspora’, exemplified among South Asian religions”, dalam Diaspora, 7 (2).

Yeoh, Brenda S.A. 2001. “Postcolonial cities”, dalam Progress in Human Geography Vol. 25.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun