Perbincangan tentang hibriditas kultural yang cenderung memposisikan ‘yang Barat’ dan ‘yang Timur’ seringkali menyisakan persoalan diskursif yang belum menyentuh permasalahan sebenarnya di ruang lokal.Â
Mengapa? Karena persoalan hibridisasi kultural di ruang lokal tidak semata-mata tentang percampuran kultural antara yang Barat dan yang Timur, tetapi juga melibatkan pengaruh-pengaruh diskursif dari agama dan religi tertentu yang berasal dari luar masyarakat.
Meskipun banyak pakar memisahkan persoalan agama dari budaya, tetapi kenyataannya, teks dan praktik agama mampu mempengaruhi konstalasi sosio-kultural yang berkembang dalam masyararakat lokal. Beberapa agama yang ‘diimpor’ dari luar dan sudah menjadi mayoritas, sangat menentukan arah perkembangan sosio-kultural yang terus bertransformasi.Â
Barat, melalui globalisasi media dan budayanya, memang menjadi faktor yang tidak bisa ditolak, tetapi nilai-nilai agama juga tidak bisa dianggap sepele dalam merekonfigurasi format sosio-kultural karena subjek-subjek yang ada memposisikan nilai-nilai tersebut sebagai kebenaran yang wajar untuk diikuti dalam praktik keseharian mereka.Â
Selain itu, terdapat kecenderungan di tingkat lokal yang menunjukkan adanya penyerapan sebagian kultur yang dimiliki etnis tertentu oleh etnis lain.
Dalam konteks tersebut, telah terjadi hibridisasi kultural berlapis; sebuahproses percampuran bermacam bentuk dan praktik kultural yang berasal dari budaya global, budaya yang berasal dari ajaran agama, budaya dari etnis-etnis lain, dan budaya yang berlangsung di ruang lokal dari etnis partikular yang masih berusaha terus menegosiasikan budayanya.Â
Kehadiran budaya global dalam ruang kultural domestik, dalam artian keluarga, sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Televisi setiap hari menampilkan program-program bearoma global, baik yang diimpor langsung maupun yang sudah dihibridisasikan oleh productioan house dalam bentuk ‘ibu kota’, dari pagi hingga menjelang pagi lagi.Â
Dalam ruang edukasi, pola pikir rasionalisme dan positivisme ala Barat menjadi acuan utama bagi lembaga-lembaga pendidikan umum, dari level desa hingga metropolitan. Sementara, lembaga-lembaga pendidikan formal yang bernuansa agama, berusaha menggabungkan pola pendidikan Barat dengan pola pendidikan yang diturunkan dari ajaran-ajaran agama yang diyakini.Â
Penguatan basis keagamaan juga berlangsung secara kontinyu di tengah-tengah masuknya beragam praktik dan teks kultural global beraroma Barat. Penguatan tersebut dikelolah oleh lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal maupun yang menginginkan syariatisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dominasi budaya dari etnis dominan dalam masyarakat juga menciptakan efek diskursif kepada etnis tertentu yang mencoba menterjemahkannya dalam budaya mereka, bersama-sama dengan beragam pengaruh budaya lain.Â