Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Percumbuan Budaya dalam Geliat Kabut Bromo

14 Maret 2023   14:58 Diperbarui: 16 Maret 2023   01:22 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesajen pernikahan Tengger, sekira tahun 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum Belanda

Penjelasan di atas tidak untuk menunjukkan bahwa masyarakat lokal telah kehilangan sepenuhnya identitas dan orientasi kultural yang diyakini selama ini. Permasalahannya adalah sejauh mana masyarakat lokal mampu mengendalikan permainan diskursif dalam peniruan dan hibridasi dengan budaya asing, baik yang berasal dari era kolonial maupun pascakolonial atau global saat ini. 

Ketika mereka secara kreatif menyadari proses tersebut, maka masyarakat lokal tentu akan mampu mempertahankan pola dan bentuk kultural lokalnya sesuai dengan perkembangan jaman tanpa harus menolak kehadiran "sesuatu yang baru", seperti yang terlihat dalam kasus kesenian populer Using, Banyuwangi (Setiawan, 2007). 

Sebaliknya, ketika mereka hanya larut dalam budaya asing, maka masyarakat tentu hanya memiliki budaya lokal secara simbolis tanpa bisa mengembangkannya dan masuk tanpa bisa merasakan ke dalam kuasa hegemoni kekuatan-kekuatan asing yang terus bertransformasi dalam produk-produk budaya pascamodern.

Kekuatan tradisi lokal, meskipun sudah bertransformasi dalam ruang ketiga poskolonial, akan tetap dijalani dalam praktik hidup sehari-hari ketika sudah menjadi ideologi dan diyakini oleh masyarakat pelakunya. 

Ideologi dalam konteks kuasa (power) memang cenderung melayani kepentingan hegemonik kelas pengarah (the leading class) dengan politik representasi yang terus menyebar sehingga menjadi kesadaran dan praktik konsensual bagi kelas-kelas lain dalam masyarakat (Boggs, 1984; Gramsci, 1981; Laclau & Mouffe, 1981; Thompson, 1984). 

Ideologi dalam konteks tulisan ini bukanlah nilai dan ide yang bersifat utopis-deterministik, tetapi lebih sebagai kerangka bagi kognisi sosial, menyebar dan dijalani oleh anggota kelompok sosial, dibentuk oleh seleksi-seleksi relevan dari nilai sosio-kultural, dan diorganisir dengan skema ideologis yang merepresentasikan definisi-diri dari kelompok tersebut. 

Di samping fungsi sosialnya untuk kepentingan kelompok, ideologi juga mempunyai fungsi kognisi untuk mengorganisir representasi sosial (sikap, pengetahuan) dari kelompok, sehingga secara tidak langsung mengawasi praktik sosial yang berkaitan dengan kelompok serta pembicaraan dari masing-masing anggotanya (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1982: 71, 1997: 26; van Dijk: 1995: 284).

Tradisi bagi masyarakat pascakolonial merupakan kekuatan ideologis yang akan menuntun mereka untuk memilih bentuk, norma, dan praktik kultural yang dipertahankan dalam ruang ketiga, meskipun mereka juga melihat, meniru, dan mengadaptasi tradisi baru yang berasal dari luar. Sekilas, masyarakat pascakolonial, memang tampak tidak bisa mempertahankan kemurnian tradisi mereka. 

Namun, apakah ada identitas ataupun yang benar-benar murni dalam konteks dan kondisi terkini? Masyarakat pascakolonial adalah masyarakat yang mempunyai mekanisme untuk selalu "melihat ke dalam" sekaligus "mengidealkan" praktik dan wacana yang diasumsikan lebih modern. 

Hal itu disebabkan kuatnya pengaruh kolonial yang bertransformasi hingga masa kolonial, sehingga mereka sebenarnya tidak sepenuhnya berada dalam kuasa wacana dan praktik tersebut atau bahkan melawannya dengan cara-cara peniruan sekaligus pengejekan di ruang ketiga hibriditas (Faruk, 2007: 14-15). 

Pun demikian dengan masyarakat Tengger. Mereka memang tidak menolak modernitas dari era  kolonial hingga sekarang sebagai akibat dari pertanian komersil, namun mereka justru mampu menggunakan semua itu sebagai sebuah motivasi ideologis baru untuk terus meyakini dan menjalani praktik tradisi yang mereka warisi dari para leluhur; sebuah percumbuan di ruang antara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun