Orang Tengger di Ruang AntaraÂ
Apa yang terjadi dengan kehidupan masyarakat Tengger hari ini tentu tidak bisa dilepaskan dari proses dan transformasi historis yang berlangsung dari masa awal perkembangan, kolonial, hingga pascakolonial.Â
Sebagai sebuah proses historis yang melampaui bermacam zaman dan pandangan dunianya, tradisi yang direpresentasikan dalam ritual dan praktik kehidupan sehari-hari bisa diasumsikan menjadi ruang silang-pertemuan bermacam wacana dan praktik sosio-kultural, baik yang berasal dari warisan nenek moyang maupun dari jagat luar.Â
Pilihan untuk menjalani kerja ekonomi-produktif pertanian menandakan kontekstualisasi dari asumsi tersebut. Ekonomi pertanian yang diperkenalkan oleh pihak kolonial sejak abad ke-19, bagaimanapun juga, merupakan bukti bahwa wong Tengger sejak dulu mampu melakukan proses kolaborasi dan adaptasi dalam sebuah ruang sosio-kultural yang diwarnai dengan peniruan dan hibridasi.
Dalam konteks masyarakat pascakolonial, apa yang dilakoni wong Tengger memang menunjukkan bagaimana pengaruh wacana dan praktik dari subjek penjajah (the colonizer) terhadap praktik hidup subjek terjajah (the colonized).Â
Praktik pertanian komersil yang menjadi trend pada masyarakat di dataran rendah dianggap mampu memberikan keuntungan secara ekonomis yang lebih besar dibandingkan pola pertanian subsisten jagung.Â
Pihak penjajah sendiri, semisal dalam kasus di wilayah Tosari (Hefner, 1999: 105), menetapkan kebijakan untuk memaksimalkan potensi pertanian dengan memperkenalkan tanaman sayur-mayur seperti kentang, wortel, maupun kubis di lereng pegunungan atas guna memenuhi kebutuhan warga Eropa dan Tionghoa.Â
Kebijakan tersebut ditopang dengan pembuatan jalan-jalan baru untuk semakin mempermudah akses menuju wilayah Tengger. Keberhasilan secara ekonomis dari praktik pertanian yang semakin mengintensifkan relasi wong Tengger dengan pihak kolonial dan masyarakat di dataran rendah tidak berhenti hanya pada kepuasan materi.Â
Praktik kultural ikut terdampak proses ekonomi tersebut. Rumah-rumah kayu khas Tengger mulai digantikan dengan rumah tembok yang pada awalnya diperkenalkan oleh pihak kolonial dan berlangsung hingga saat ini. Namun, di balik proses mimikri tersebut, orang Tengger masih menyimpan satu kekuatan tradisi yang dimainkan dalam ruang persilangan.
Ruang persilangan ini oleh Bhabha (1994) disebut "ruang ketiga" (the third space) atau "ruang antara" (in-between space). Dalam pandangan Bhabha, ruang antara menyediakan (1) medan untuk mengelaborasi strategi kedirian, baik tunggal maupun komunal, yang memunculkan tanda baru identitas dan (2) situs inovatif untuk kolaborasi dan kontestasi dalam usaha untuk mendefinisikan ide kemasyarakatan itu sendiri.Â
Pihak terjajah melakukan apropriasi terhadap budaya yang dimiliki oleh pihak penjajah dari perspektif mereka sehingga terjadi keterikatan kultural yang dikerangkai melalui perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka.Â