Bagi penulis diasporik yang akrab dengan strategi di tengah budaya dominan di mana liberalisme menjadi orientasi ideal, budaya Barat akan menjadi konstruksi diskursif yang perlu diikuti oleh para tokoh utama agar mereka meraih kesuksesan.
Belum lagi berbagai tragedi politik di negeri asal mendorong para sastrawan diaspora memposisikan budaya ibu sebagai pajangan atau kotak yang bisa memanjakan pembaca kulit putih yang mulai merindukan tradisionalisme dan eksotisme timur di era pascamodern.
Selain itu, pertimbangan penerbit yang menginginkan banyak konstruksi eksotis dan unik dari budaya Asia, Afrika, Latin, Karibia, dan lainnya sebagai salah satu formula terlaris untuk sastra diasporik membuat penulis yang juga menginginkan keuntungan finansial lebih memilih untuk menampilkan budaya etnik mereka dengan kerangka perbedaan-yang-dikonsumsi oleh subjek Barat.
Absennya kesadaran kritis terkait kepentingan ideologi kapitalisme negara maju dalam mengkampanyekan multikulturalisme merupakan hak mutlak penulis dengan berbagai pertimbangan.
Namun, pilihan itu bisa membuat sastra diasporik menjadi pelengkap atau, bahkan pendukung, keberlangsungan kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi sumber daya manusia dari negara miskin atau negara berkembang sambil memperkuat konstruksi neo-Orientalisme untuk kekuatan negara Barat berdasarkan kerinduan pascamodern.
Rujukan
Adams, Bella. (2008). Asian American Literature. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Al Maleh, Layla. (2009). “Anglophone Arab Literature: An Overview.” In Layla Al Maleh (ed). Arab Voices in Diaspora: Critical Perspectives on Anglophone Arab Literature. Amsterdam: Rodofi.
Chae, Youngsuk. (2008). Politicising Asian American Literature. New York: Routledge.
Dijkstra, Steven, Karin Geuijen, and Arie De Ruijter. (2001). “Multiculturalism and Social Integration in Europe.” International Political Science Review, Vol 22, No. 1, 55–84.
Fowers, Blaine J. and Frank C. Richardson. (1996). “Why Is Multiculturalism Good?” American Psycologist, Vol. 51, No. 6, 609-621.