Kelima, dalam resistensi dibutuhkan poin resistensi yang bersifat mobile dan cepat berubah sehingga bisa memecah relasi yang sudah mapan dalam masyarakat untuk kemudian dilakukan reorganisasi dan re-grouping terhadap mereka yang punya kesadaran kritis sehingga mampu memunculkan wacana baru yang bisa memberikan penyadaran dan melampaui stratifikasi sosial yang ada.
Kelima, perlu dilakukan kodifikasi atau semacam pengaturan yang bersifat strategis terhadap poin-poin resistensi yang bersifat plural sehingga revolusi menjadi mungkin terjadi.
Memang pikiran Foucault mengenai resistensi bersifat sangat ideal, dan mungkin akan sulit diwujudkan dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks dewasa ini. Namun, pikiran-pikiran ideal itu bukan tidak mungkin diwujudkan ketika kesadaran kritis dan resisteni bisa disebarkan terus-menerus, baik dalam pola maupun strategi yang beragam dan terorganisir.
Karakteristik pertama hingga keempat mengimplikasikan adanya tiga hal yang penting dalam resistensi, yakni (1) keragaman poin, baik dalam hal bentuk, praktik, maupun wacana; (2) kreativitas yang akan menjadikan resistensi bersifat mobile dan cepat berubah; dan, (3) pengaturan kembali potensi, subjek, dan kelompok-kelompok resisten sehingga memudahkan penataan strategi dan cara yang akan dilakukan.
Apabila poin pertama dan kedua berhasil diwujudkan, maka kuasa akan bisa dibongkar, tidak dengan menjauh darinya, tetapi menyerangnya dengan pola dan bentuk relasi yang mengadopsi dari kuasa yang ada sehingga subjek-subjek sosial tidak kesulitan memahami resistensi yang mungkin bisa diusahakan.
Khusus untuk poin ketiga, tentu saja tidak dimaksudkan sebagai pembentukan kelompok-kelompok dalam artian kaku. Pengaturan ini lebih banyak berkaitan dengan pemetaan, penyamaan, dan penyebaran wacana dan resisten secara ajeg dan kontinyu ke dalam ruang publik dan praktik sosio-kultural dengan pola dan model yang mudah dikenali oleh masyarakat.
Harapannya, mereka bisa memahami apa-apa yang menjadi tipu daya ideologis dari kelas pemimpin. Pembiasaan terus-menerus wacana dan praktik baru melalui formasi diskursif sebagai wacana tandingan, dalam pemikiran Bordieu, bisa menjadi gangguan terhadap kemapanan ortodoksa sehingga bisa melahirkan heterodoksa di dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat.
Ketika heterodoksa tersebut bisa berjalan dengan efektif dan masyarakat bisa memahami mengikuti pola dan model resistensi yang diinginkan, maka hal itu akan memungkinkan munculnya “blok historis baru” (new historical bloc) yang diharapkan bisa menyatukan kekuatan untuk mengganggu kemapanan blok historis lama sebagai penguat hegemoni.
Hall (1997c) mengadopsi pemikiran Gramsci menjelaskan bahwa kuasa hegemonik bisa tercipta karena adanya “blok historis” (historical bloc) yang terdiri dari kelas intelektual, buruh, petani, agamawan, seniman, budayawan, dan lain-lain. Blok inilah yang melahirkan kelas pemimpin dalam sistem sosial masyarakat.
Ketika wacana ideologis dan praktik dari blok historis baru bisa memperoleh penerimaan dari masyarakat, kemungkinan “kontra-hegemoni" bisa dilakukan. Sekali lagi, untuk bisa memperoleh dukungan yang semakin luas, blok baru ini sudah semestinya mampu terus menyebarkan wacana dan praktik sosio-kultural yang bisa menimbulkan ketertarikan banyak orang.
Sangat mungkin dari proses tersebut akan melahirkan budaya tandingan (counter-culture) yang bisa berwujud budaya baru yang bisa menjadi alternatif bagi masyarakat.