Dalam pandangan Gramsci ketika kelas penguasa berhasil memunculkan konsensus dari kelas-kelas subordinat dalam masyarakat, maka kuasa dalam bentuk hegemoni akan berlangsung. Untuk memperoleh konsensus tersebut, wacana dan praktik budaya merupakan salah satu aparatus yang bisa menjalankan fungsi dan peran kuasa secara natural, efektif, dan tanpa paksaan.
Hegemoni merupakan satu pratik kuasa yang tidak menekankan adanya praktik kekerasan, tetapi lebih mengedepankan kepemimpinan moral yang ditandai dengan perwujudan kepentingan-kepentingan kelas subordinat oleh kelas penguasa melalui cara-cara sosio-kultural (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau dan Moueffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 161; Bennet, 1986: xv).
Dalam kuasa hegemonik inilah akan berlangsung artikulasi terhadap kepentingan kelas-kelas subordinat ke dalam kepentingan-kepentingan kelas kuasa sehingga akan mewujudkan satu bentuk baru sistem sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang kompleks.
Ketika hal itu terwujud, maka kelas subordinat akan merasa kepentingan mereka sudah terwadai sehingga akan merasa kelas penguasa tidak lagi terkesan berkuasa, tetapi cenderung lebih menjadi “kelas pemimpin.” Maka, budaya dalam konteks hegemoni bisa menjadi pertemua dua kepentingan atau ekspresi kultural yang seolah-olah menjadi kekayaan bersama bagi dua kelas yang berbeda.
Namun, kenyataannya, semua dilakukan untuk menegakkan tatanan kuasa dari kelas pengarah. Budaya, dengan demikian, telah menjadi modal dan aparatus untuk menormalisasi sebuah kepentingan yang tidak lagi dipahami sebagai kepentingan, tetapi sebuah kewajaran.
Pemahaman tentang kuasa hegemonik ini berada dalam satu semangat dengan pemikiran Foucault (1998: 94-95). Menurutnya, kuasa dijalankan dari poin-poin tak terhingga. Kuasa mempunyai peran produktif di manapun berada karena dia akan selalu hadir secara wajar dalam relasi-relasi yang ada dalam kehidupan sosial.
Kuasa tidak semata-mata berasal dari atas, tetapi lebih banyak berasal dari kesepakatan dari bawah karena kuasa bisa melintasi bermacam institusi sosial di mana potensi-potensi oposisi bisa diredefinisi dan dipersekutukan kembali ke dalam relasi kuasa sehingga membentuk dominasi yang bersifat hegemonik.
Penyebaran kuasa hegemonik juga didukung oleh aparatus hegemonik (serupa dengan dalil tentang ISA Althusser dan aparatus kuasa Foucauldian) yang bersifat praksis, antara lain media, budaya, instiusi agama, pendidikan, partai politik, dan birokrasi.
Yang menarik adalah perspektif Barthesian dalam melihat keberhasilan kelas penguasa yang sudah bertransformasi sebagai kelas pemimpin dalam menyebarkan secara massif kepentingan ideologi dan kuasanya dengan bermain di ranah representasi. Barthes (1980: 138-139) dalam perspektifnya tentang kelas borjuis menjelaskan bagaimana kelompok dominan melakukan eks-nominasi.
Kelas pemimpin akan menggunakan eks-nominasi untuk menyebarkan kepentingannya tanpa memberinya label karena mereka bisa masuk ke dalam ranah budaya yang selalu dianggap netral, tampak nir-politik, sehingga pengaruhnya bukan lagi dianggap sebagai kepentingan kuasa, tetapi sebuah kemenangan bersama atas nama kemanusiaan itu sendiri.
Meskipun Barthes lebih banyak mengkaji mitos populer, seperti acara televisi, foto di majalah, novel, musik, olah raga, maupun film, perspektifnya bisa digunakan juga untuk melihat bagaimana penggunaan mitos-mitos klasik dalam bentuk ritual ataupun dongeng untuk menaturalisasi dan mendepolitisasi kepentingan kuasa yang ada dalam masyarakat partikular.