Artinya, selalu ada kritik yang konstruktif dari kelas subordinat untuk mendinamisasi keberlangsungan sosial. Tetapi, ketika kelas subordinat tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara di ruang publik dan hanya menjadi subjek-subjek ‘dinina-bobokan’ melalui wacana dan praktik kultural, maka kondisi ini bisa menjadi politik budaya yang berbahaya.Â
Kondisi ini akan menimbulkan moda kuasa hegemoni dalam sebuah masyarakat yang berjalan dengan apik dan wajar karena mampu memadukan moda ekonomi dan kultural sebagai praksis kekuasaan yang bersifat eksploitatif dan didukung dengan ketertundukan kelas-kelas subordinat sebagai subjek-subjek diskursif yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Resistensi dan Kontra-Hegemoni: Utopia atau Kemungkinan?
Dengan kehadiran moda kuasa hegemoni melalui budaya seperti di atas, mungkinkah akan muncul gerakan atau wacana yang bersifat resisten terhadapnya? Pertanyaan sederhana tersebut dalam perkembangan pemikiran kritis memang menjadi perdebatan panjang yang begitu melelahkan.Â
Hal itu didukung kenyataan bahwa Marxisme yang diharapkan menjadi anti-tesis dari kapitalisme, ternyata gagal menunjukkan ‘keperkasaannya’ di tengah-tengah perkembangan neo-liberal dewasa ini. Dalam kasus Indonesia sendiri, di mana kuasa lebih banyak dibangun dengan politik budaya, sepertinya tampak sangat sulit untuk melakukan resistensi terhadapnya.Â
Bagaimana seorang pembelajar, misalnya, harus melawan praktik kuasa yang dibangun dalam tradisi sebuah institusi moral? Bagaimana seorang warga Yogya ataupun Solo akan melawan kuasa keraton ketika sehari-harinya mereka disuguhi ritual maupun bahasa yang selalu diposisikan adiluhung? Kalau memang mungkin, bagaimana bentuk dan moda resistensi yang mungkin terjadi?
Foucault (1998) secara konseptual memaparkan bahwa di mana ada kuasa, maka di situlah akan muncul resistensi. Resistensi sendiri mempunyai beberapa karakteristik.Â
Pertama, bahwa resistensi pada dasarnya selalu muncul ketika berlangsung sebuah kuasa. Kedua, samahalnya dengan beroperasinya kuasa yang menggunakan beragam poin, resistensi juga bisa berasal dari beragam poin.Â
Ketiga, resistensi bersifat plural. Pluaritas ini bisa menjadi keunggulan karena bisa mewujudkan resistensi tidak dalam ketunggalan yang mudah dideteksi, tetapi juga bisa merugikan ketika tidak bisa diorganisir dan diolah kembali. Keempat, resistensi hanya bisa berjalan efektif atau menghasilkan perubahan ketika ia berlangsung dalam medan strategis relasi kuasa.Â
Artinya, untuk melawan kuasa, subjek-subjek yang sadar dan kritis tidak harus sepenuhnya membuat poin maupun terma baru yang bertentangan dengan relasi kuasa, tetapi dengan memaknai kembali relasi yang ada dan kemudian digunakan untuk memetakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa digunakan menyerang balik.Â