Namun demikian, dalam konteks industri kreatif, pilihan tersebut dapat dimaklumi karena merekam pertunjukan ludruk berarti memberikan penghasilan tambahan bagi seniman ludruk dari pembayaran akad. Dalam setiap kontrak, umumnya untuk dua kali shooting, Karya Budaya mendapat 25 juta rupiah dan pembayaran ini akan dibagi kepada 60 anggota secara proporsional.Â
Selain itu, distribusi VCD dapat menjangkau khalayak yang lebih luas, dari kota ke desa, dan dapat menarik beberapa dari mereka untuk mengundang kelompok untuk ritual keluarga atau komunal mereka.Â
Namun pertunjukan langsung masih menjadi orientasi utama kelompok ludruk karena seniman dapat mengalami komunikasi langsung dan dinamis dengan penonton, sehingga akan mendapatkan kepuasan psikologis yang berbeda. Selain itu, secara ekonomi, banyak pertunjukan langsung berarti lebih banyak uang bagi mereka.
Simpulan
Dalam proses sejarahnya, ludruk, melalui anggota dan pengurusnya yang kreatif, telah menggunakan transformasi sebagai strategi untuk bertahan dalam kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang rumit.Â
Di era rezim Soekarno, ketika ideologi revolusioner yang berpedoman pada demokrasi menjadi praktik dan formasi diskursif yang dominan, banyak kelompok dan seniman ludruk yang terlibat dalam Lekra karena lembaga ini berkomitmen untuk memberdayakan budaya proletar.Â
Keterlibatan politik-ideologis ini, memang, bisa saja menjadikan ludruk sebagai kesenian rakyat yang bermartabat dan kritis, tetapi juga membawa mereka pada kesengsaraan. Pada masa Orde Baru, pertunjukan ludruk mengalami titik balik dalam proses transformatifnya.Â
Sejak awal hingga pertengahan periode, banyak kelompok ludruk yang hadir di ranah budaya dengan mentransformasikan dan menegosiasikan wacana ideologi negara tentang nasionalisme dan pembangunan nasional sebagai cara untuk melahirkan dan mendistribusikan kekuatan hegemonik di kalangan massa.Â
Namun, popularitas mereka menurun drastis akibat pembangunan pesat yang menyebabkan perubahan selera budaya penduduk desa. Runtuhnya banyak kelompok ludruk pada pertengahan hingga akhir 1990-an juga berkontribusi pada berkurangnya kesepakatan konsensual publik terhadap rezim Orde Baru karena wacana ideologi mereka tidak dapat lagi menjangkau massa melalui ludruk.
Pada era 2000-an, banyak kelompok ludruk yang menemukan persoalan yang lebih pelik dalam melanjutkan proses kreatifnya. Beberapa masalah internal yang serius dan persaingan yang semakin ketat dengan materi tekno-kultural yang diproduksi oleh industri kapitalis besar membuat banyak seniman dan pengelola ludruk menyerah dan menghentikan pertunjukan mereka.Â