Namun, pesatnya kemajuan budaya populer membuat jumlah kelompok ludruk semakin berkurang dari tahun 1985-1988. Dalam konteks pedesaan, banyak keluarga kaya yang memperoleh keuntungan finansial dari hasil panen yang sukses membeli “televisi hitam putih” untuk menonton program-program populer di TVRI (Televisi Republik Indonesia), seperti industri musik metropolitan (Selecta Pop, Aneka Ria Safari, Kamera Ria, dan Album Minggu Ini) dan film (Film Cerita Akhir Pekan).
Lambat laun warga desa mulai mengonsumsi budaya pop dan kurang tertarik dengan seni pertunjukan tradisional seperti ludruk, meskipun tidak sepenuhnya ditinggalkan (Setiawan, 2012).
Pada awal tahun 1990-an, jumlah kelompok ludruk menurun drastis, karena hanya sedikit penduduk desa pergi ke tobongan. Kondisi seperti itu membuat kelompok ludruk kehilangan penonton dan tentunya pendapatan. Akhirnya, banyak dari mereka yang tumbang dan berhenti tampil.
Berkurangnya kelompok ludruk secara radikal pada tahun 1994 merupakan konsekuensi langsung dari akses televisi swasta di wilayah pedesaan. Penduduk desa lebih suka menonton acara yang beragam dan berwarna di televisi swasta, seperti sinetron (sinetron), musik populer, dan olahraga di RCTI, SCTV, Indosiar, dan ANTV.
Selain itu, kepopuleran layar tancap (istilah lokal untuk film layar lebar yang diputar di tempat terbuka) juga turut menyebabkan hilangnya tobongan dari ranah budaya desa. Sejak saat itu, kelompok ludruk telah melakukan pertunjukan teropan, sebuah model pertunjukan di mana kelompok-kelompok tertentu tampil di terob untuk melayani ritual keluarga orang kaya atau dalam ritual desa.
Dalam mode pertunjukan baru ini, cerita-cerita perlawanan dan berbasis masalah sehari-hari masih populer, menunjukkan bahwa wacana ideologi Orde Baru masih beroperasi, meski lambat laun mulai kehilangan kekuatan dominan dan efektifnya ketika krisis ekonomi nasional terjadi pada tahun 1997 dan berbagai masalah pelik. muncul.
Strategi Survival di Zaman Pasar
Booming VCD player China yang murah di tahun 2000-an mempercepat perubahan budaya yang radikal di desa-desa. Durasi acara hiburan yang lebih singkat, variasi acara, dan warna-warni produk tekno-kultural turut menyebabkan marjinalisasi beberapa kesenian rakyat di Jawa Timur, termasuk ludruk.
Selain itu, kurangnya perhatian rezim negara daerah terhadap kebijakan budayanya juga menjadi penyebab matinya banyak kelompok kesenian rakyat di Mojokerto, Jombang, Surabaya, dan Malang (Susanto, wawancara, 12 November 2013).
Di Surabaya, kota tempat Cak Durasim mempopulerkan ludruk sebagai media revolusi, aparat negara meniadakan jejak sejarah ludruk dan tidak menghiraukannya (Kompas, 4 Juni 2002).
Ketiadaan rezim negara dalam mengembangkan kesenian rakyat, termasuk ludruk, tentunya menunjukkan ketidakkonsistenan mereka dalam memposisikan aset budaya bangsa yang disebut-sebut mengandung nilai-nilai moral luhur sebagai identitas bangsa.