Namun, sebelum meninggal, dia menulis wasiatnya kepada aparat setempat bahwa mereka boleh menjual rumah dan tanahnya. Kemudian, mereka harus menggunakan setengah dari uang itu untuk merenovasi gedung TK yang rusak. Lagi pula, separuhnya lagi untuk membeli ‘kantong pembawa jenazahnya.’” (Wawancara, 12 November 2004)
Cerita ini dengan jelas mengkritisi stereotipisasi dan stigmatisasi pikiran publik tentang prostitusi tanpa mempertimbangkan secara serius akar sejarahnya. Sebagai puncak kritik, cerita ini menawarkan perspektif berbeda di mana Mak Yah mengambil keputusan yang konstruktif, positif, dan visioner terkait dengan masalah krusial di komunitasnya (Radar Mojokerto, 4 Oktober 2004).
Misalnya, melalui renovasi gedung TK, Mak Yah awalnya ingin menunjukkan kepada tetangganya pentingnya mendidik anak demi ilmu. Kedua, dia ingin memberikan semacam ajaran bahwa di “sisi tergelap” pelacur mungkin ada “matahari yang bersinar” yang dapat memperbaiki kondisi sosial yang lebih miskin.
Kedua kisah tersebut menunjukkan keberanian Karya Budaya dalam merepresentasikan persoalan sosial kontemporer dalam pementasannya. Tentu saja, kebebasan di masa Reformasi berkontribusi pada imajinasi dan wacana kritis, yang melampaui kode moral yang mapan di masyarakat.
Berkurangnya kontrol aparat rezim negara dalam ekspresi budaya, walaupun tidak sepenuhnya absen, terutama terkait dengan isu komunisme, membuat para pelaku budaya, termasuk para seniman ludruk, mulai membuat cerita-cerita yang dilarang pada periode sebelumnya.
Memang pada masa Orde Baru banyak kelompok ludruk yang membawakan cerita tentang prostitusi, maupun cerita yang sama dalam film, namun penyelesaian konflik selalu menekankan pentingnya akhir yang harmonis di mana para pelacur diintegrasikan kembali ke dalam kode moral yang mapan artinya mereka menjadi "orang kebanyakan."
Begitu pula dalam konteks perjuangan kelas, kita dapat menemukan penilaian estetika kritis, yang mengingatkan penonton tentang bahaya eksploitasi manusia oleh warga yang sama dari kelas atas.
Dengan kata lain, meski di masa Reformasi, slogan kesetaraan hak asasi manusia dan demokrasi bergema setiap saat, baik dalam program televisi maupun forum akademik, persoalan penjajahan biasa yang dilakukan oleh kelas dominan tetap saja terjadi.
Terlepas dari fungsi kritis ideal di atas, sekali lagi, jalinan antara narasi dan kondisi kontekstual bisa menjadi strategi yang tepat untuk mempopulerkan kembali ludruk di tengah ekspansi tekno-kultural.
Memang strategi ini mensyaratkan popularitas sinetron dan film sebagai produk industri budaya modal besar, tetapi karena pertunjukan ludruk memiliki aspek pementasan yang khas, tidak masalah untuk menyerap dan menyesuaikan strategi serupa.
Dalam konteks produksi, beberapa kelompok ludruk bergabung dengan industri rekaman dari Surabaya untuk merekam penampilan mereka dan mendistribusikannya dalam bentuk VCD. Di satu sisi, pilihan ini menekan durasi yang biasanya panjang (5-6 jam) menjadi pendek hanya 1 jam, dan di sisi lain, bisa mengurangi cerita dan wacana yang rumit.