Salah satu ciri khas program pembangunan nasional adalah terjadinya revolusi industri di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya di mana rezim mengundang sebanyak mungkin investor asing dan nasional untuk menanamkan modal finansial mereka atas nama kemajuan.
Rezim juga mengizinkan budaya pop asing, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, yang dilarang di era Soekarno melalui mekanisme impor. Tak pelak, konsekuensi ideologis dari kebijakan tersebut adalah tumbuhnya kapitalisme sebagai determinan dominan dalam segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dari kota hingga desa (Faruk, 1995).
Implikasi selanjutnya adalah meluasnya paham individualisme yang menekankan kebebasan individu di tengah-tengah masyarakat. Bagi aparatur negara, kebebasan ini, terutama dalam pemikiran dan ekspresi budaya, dapat menimbulkan kritik terhadap pemerintah yang akan mengganggu kekuasaannya.
Oleh karena itu, penyebarluasan wacana komunalisme, moralitas, dan nasionalisme antikolonialisme melalui seni-seni residual namun tetap populer, seperti ludruk, merupakan strategi preventif untuk membendung “mekarnya” semangat perlawanan.
Dengan kata lain, rezim negara menggunakan budaya tradisional, dalam hal ini pertunjukan ludruk yang diperbaharui wacana politik-ideologisnya melalui cerita perlawanan, sebagai upaya mereka untuk mencegah meningkatnya ketidakpuasan, kritik, dan perlawanan yang dikonstruksi sebagai ancaman terhadap budaya dan juga untuk mengamankan basis konsensual otoritas hegemonik mereka.
Memang sutradara ludruk mulai membuat cerita tentang cinta dan masalah sosial sehari-hari, namun penyelesaian dari semua konflik selalu memiliki kesimpulan moralistik atau keharmonisan di antara para tokohnya.
Resolusi serupa dapat kita temukan dalam narasi film Indonesia pada 1980-an, di mana ketegangan konflik yang semakin tinggi antara individu dengan keluarga atau masyarakatnya diselesaikan dengan kembalinya mereka ke kehangatan keluarga sebagai metafora integrasi (Khrisna Sen, 2010).
Namun, terlepas dari wacana moralitas dan integratif tersebut, kisah cinta dapat dibaca sebagai taktik estetik, baik untuk mengapropriasi modernitas sebagai budaya dominan maupun menegosiasikan keberadaan ludruk sebagai salah satu kesenian rakyat yang tersisa di tengah perubahan budaya sebagai dampak langsung pesatnya budaya populer.
Setidaknya, secara minimal, para seniman ludruk masih bisa memposisikan diri dan kreativitasnya yang berbasis tradisi dengan orientasi modern dalam kontestasi budaya.
Terlepas dari hegemoni rezim negara, jumlah kelompok ludruk di Jawa Timur pada masa Orde Baru mulai berkurang. Booming ludruk pada awal tahun 1980-an menunjukkan respon euforia atas kebijakan kebudayaan rezim Orde Baru yang memungkinkan para seniman ludruk mengadakan pentas, baik di kota maupun desa.
Kepopuleran tobongan yang dipengaruhi oleh bertambahnya kelompok ludruk sejalan dengan kemajuan ekonomi penduduk desa akibat revolusi hijau dan sistem pertanian modern, sehingga mereka memperoleh pendapatan yang lebih besar. Selain itu, akses hiburan modern sangat terbatas bagi penduduk desa.