Untuk mengakomodasi kepentingan dari perempuan, maka mereka juga melakukan inkorporasi dengan cara mengartikulasikan perempuan dan kepentingan mereka dalam media sehingga ketegangan ideologis bisa dihindari. Namun, karena mereka tidak ingin kehilangan kuasa-hegemoniknya, maka di dalam representasi media perempuan lebih banyak ditandakan secara stereotip.
Dengan stereotipiasi, perempuan lebih banyak direpresentasikan sebagai kelas yang sudah selayaknya menempati ranah domestik yang bersifat subordinat. Kafiris (2005: 9-10) menjelaskan:
Media memberikan tingkatan sumber yang sangat terbatas yang mempromosikan konseptualitasi dan bias yang terbatas tentang perempuan.
Sebagai contoh perempuan secara ekstrim dicitrakan sebagai objek hasrat seksual laki-laki atau seorang ibu, mereka dicitrakan sebagai makhluk lemah yang kurang berpendidikan dan hanya tertarik pada persoalan-persoalan domestik, mereka menjadi bernilai karena kemampuan untuk beranak dan kecantikan yang ideal.
Senada dengan penjelasan tersebut, Strinati (2004: 207-208), mengutip pendapat Barthes dan Tuchman, memaparkan:
Berbagai representasi kultural kaum perempuan dalam media massa dianggap bekerja mendukung dan meneruskan pembagian kerja seksual yang sudah umum diterima maupun konsepsi-konsepsi ortodoks feminitas dan maskulinitas.
“Anihilisasi simbolis perempuan” yang dipraktikkan media massa berfungsi menegaskan peranan istri, ibu, ibu rumah tangga, dan sebagainya, merupakan takdir perempuan dalam sebuah masyarakat patriarkal.
Kaum perempuan disosialisasikan dalam menjalankan peranan-peranan tersebut melalui berbagai representasi kultural yang membuatnya tampak menikmati hak istimewa alami kaum perempuan.
Dalam konteks tersebut, film dan juga media massa lainnya berfungsi sebagai aparat, situs, dan praktik diskursif yang membentuk realitas kultural bagi anggota masyarakat tertentu, termasuk bagi perempuan. Penggambaran perempuan seksi, putih, dan ramping, misalnya, merupakan konstruksi media yang dijadikan ideal oleh banyak perempuan masa kini
Dalam film-film Hollywood kontemporer, misalnya, perempuan masih banyak direpresentasikan menempati posisi skunder dari permainan yang diciptakan laki-laki (Gledhill, 1997).