Skopopilik, dengan demikian, berasal dari kenikmatan dalam menggunakan orang lain sebagai objek rangsangan seksual melalui pandangan…Yang kedua adalah narsisisme dan penggantian ego, berasal dari identifikasi dengan gambar yang dilihat.
Dengan teknik-teknik sinematografi, tubuh perempuan dalam industri film Hollywood merupakan objek skopopilik yang menghasilkan sifat narsis pada diri penonton pria, sehingga perempuan dengan segala keindahan dan keerotisan tubuhnya dalam citra filmis, merupakan representasi tradisional yang memang sudah sepatutnya dipandang.Â
Lebih jauh, Maulvey (1989: 19) menambahkan:
Dalam jagat yang diatur oleh ketidakseimbangan seksual, kenikmatan dalam memandang terbagi antara laki-laki/aktif  dan perempuan/pasif. Pandangan laki-laki yang determinan memproyeksikan fantasinya menuju figur perempuan, yang sudah distilisasi sedemikian rupa.Â
Dalam peran eksibisionis tradisional, perempuan secara simultan dipandang dan ditampilkan, dengan perwujudan mereka yang dikodekan untuk pengaruh erotik dan visual yang kuat, sehingga mereka bisa dikonotasikan sebagai ‘keterdilihatan’ (to be-looked-at-ness).…
Perempuan yang ditampilkan sebagai objek seksual merupakan leitmotif dari tontonan erotis: dari setengah telanjang hingga streap-tease….ia mengikat pandangan dan memainkan pandangan laki-laki.…
Kehadiran perempuan merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dari elemen tontonan dalam film narasi normal, tetapi kehadirannya cenderung bekerja menghambat perkembangan jalan-cerita, untuk membekukan aliran aksi dalam momen kontemplasi erotis.…
(dengan demikian) Secara tradisional perempuan yang ditampilkan berfungsi dalam dua level: sebagai objek erotis untuk tokoh di dalam layar, dan sebagai objek erotis bagi penonton dalam auditorium.
Keterdilihatan perempuan dalam film menjadikannya sebagai objek yang representasinya memang ‘sudah semestinya’ dinikmati oleh keliaran pandangan dua level; tokoh laki-laki dalam film dan penonton.Â
Tidak hanya dalam film-film yang mengedepankan erotisme dan pornografi, bahkan dalam film-film naratif arus utama yang diputar di bioskop kehadiran tubuh perempuan seringkali dianggap sebagai titik jedah bagi penonton untuk melakukan ‘kontemplasi erotis’.
Analisis yang dilakukan Mulvey, dengan mengkombinasikan semiotika dan psikoanalisis, menjadi trend yang berkembang dalam kritik film feminis. Para pemikir feminis kebanyakan membicarakan hilangnya otoritas subjek perempuan dalam film yang hanya menempati posisi di pandang, di mana perempuan tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri.Â