Artinya, selalu ada artikulasi-artikulasi diskursif di dalam struktur dunia naratif film yang juga berusaha merepresentasikan wacana-wacana yang beredar dalam masyarakat dalam momen historis partikular.Â
Film, Perempuan, dan Hegemoni PatriarkiÂ
Perdebatan seputar representasi dalam film tidak hanya mengundang ketertarikan para pemikir dan peneliti media studies maupun cultural studies, tetapi juga melibatkan kontestasi dari para pemikir gender dan feminis.Â
Film diposisikan sebagai medan yang di dalamnya terus berlangsung proses produksi makna melalui representasi stereotip tentang perempuan maupun laki-laki.Â
Representasi tersebut tidak hanya berkutat dalam hal bagaimana tubuh dicitrakan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan tematik yang divisualisasikan melalui narasi filmis yang berjalin-kelindan dengan relasi kuasa dan wacana yang berlangsung dalam praktik sosio-kultural dalam periode partikular.
Perempuan dalam narasi filmis banyak direpresentasikan berkutat dalam wilayah domestik, objek dari hasrat seksual laki-laki, maupun simbol kelelakian. Kehadiran perempuan seolah sudah menjadi keharusan dalam representasi filmis karena darinya sebuah budaya yang penuh kepentingan ideologis dibicarakan dieks-nominasikan.Â
Teresa de Lauretis (dikutip dalam Ostrowska, 2007: 419) dalam kajiannya tentang perempuan dalam jagat fiksional Barat, sebagaimana dikutip, menjelaskan:
Yang saya maksudkan dengan ‘perempuan adalah sebuah konstruksi fiksional, sebuah inti dari keberagaman wacana-wacana dominan dalam budaya Barat (baik wacana kritis dan saintifik maupun kesastraan), yang beroperasi baik sebagai poin yang samar-samar hilang maupun syarat khusus keberadaan…
perempuan, yang liyan-dari-laki-laki (alam dan Ibu, situs seksualitas dan hasrat maskulin, tanda dan objek dari pertukaran sosial laki-laki) merupakan terma yang pada saat bersamaan mendesain poin yang menghilang dari budaya fiksi kita tentang dirinya dan syarat wacana-wacana yang darinya fiksi direpresentasikan.
Dengan menghadirkan perempuan dalam film, maka ketimpangan ideologis antara laki-laki dan perempuan dalam praktik sosio-kultural masyarakat dikesankan mencair karena mereka juga turut berkontestasi di dalam produk-produk budaya.Â
Namun, apa yang harus diperhatikan secara kritis adalah bahwa representasi perempuan tersebut juga menjadi syarat utama bagi representasi fiksional film sebagai produksi dari wacana ideologis patriarkal dalam masyarakat sehingga kepentingan ideologis akan tampak natural.Â