Sebaliknya, akan terus menyebar sebagai formasi diskursif baru yang memunculkan institusi maupun aparat sebagai praktik non-diskursif yang selalu mengarah pada wacana ideologis konsensual.Â
Dalam kondisi tersebut, perbedaan antara kelas kuasa dan kelas subordinat, tidak begitu kentara lagi karena semua menjalani sistem dan praktik sosial yang berdasarkan pada ideologi konsensual yang terus diwacanakan secara produktif.
Kaburnya perbedaan kelas akan menghasilkan blok historis yang memunculkan "kelas pemimpin" dengan berpatokan pada ideologi konsensual yang tercipta dari artikulasi bermacam wacana dan praktik yang ada dalam masyarakat (Hall, 1997b: 425-426).Â
Proses tersebut akan menghasilkan kuasa-hegemonik yang tidak hanya dijalankan dalam ranah ekonomi, politik, dan administratif, tetapi juga menekankan kepemimpinan dalam ranah budaya, agama, moral, etis, dan intelektual sehingga akan memenangkan konsen dalam jangka historis panjang (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau and Mouffe, 1981: 226; Boggs,1984: 161; Bennet, 1986: xv).Â
Konsep tersebut bukan untuk mengatakan bahwa kelas penguasa telah hilang dalam masyarakat, tetapi lebih menekankan bagaimana mereka bertransformasi menjadi kelas pemimpin.Â
Kepemimpinan hegemonik yang diarahkan oleh wacana konsensual inilah yang menjadikan subjek-subjek tidak merasakannya sebagai paksaan, tetapi kebutuhan demi untuk menjamin keberlangsungan sistem, praktik, dan relasi sosial dalam masyarakat; sebuah normalisasi ideologi dan kuasa.Â
Untuk memperluas formasi dan praktik diskursif dari kuasa hegemonik, maka dibutuhkan aparat-aparat (sekolah, institusi agama, birokrasi, budaya, maupun media) yang akan terus berusaha menyebarkan wacana ideologis konsensual ke dalam masyarakat.
Media dalam segala bentuknya, informasi maupun hiburan, merupakan  medium untuk mewacanakan kuasa-hegemonik dalam bentuk-bentuk representasi secara ajeg. Media menjadi penting karena semua orang membutuhkan.Â
Melalui praktik representasi dalam media yang sudah menjadi kebutuhan konsensual tersebut, ideologi dan kepentingan kelas, tidak lagi dibicarakan atau dinamai, tetapi sekedar diwacanakan berdasarkan wacana konsensual dan praktik diskursif yang ada dalam masyarakat. Dalam kajiannya tentang kelas borjuis, Barthes (1983: 138-139) menyebut proses tersebut sebagai "eks-nominasi."Â
Barthes menjelaskan bahwa kelas borjuis tidak membutuhkan partai atau tidak membutuhkan nama ideologi tertentu untuk dirinya. Sebagai fakta ideologis, borjuis sepenuhnya menghilang: borjuis telah menghapuskan namanya dalam melampaui dari realitas menuju representasi, dari manusia ekonomi menuju manusia mental.Â
Artinya, borjuis sebagai kelas dominan hanya membutuhkan wacana-wacana tentang kepentingan dan karakteristik ekonominya menyebar dalam banyak produk kultural, seperti tayangan televisi, film, surat kabar, dan yang lain.