Representasi, dengan demikian, bukanlah entitas netral, nir-ideologi, yang bisa secara wajar memenuhi kepentingan setiap kelas yang berbeda, karena persoalan ideologi memang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan kelas; selalu ada politik representasi.Â
Ketika sebuah kelas memenangkan politik representasi tersebut, maka mereka mempunyai kuasa untuk menentukan dan menggunakan bahasa sebagai penandaan untuk menyebarkan wacana ideologis mereka ke dalam masyarakat sehingga nilai kuasa mereka akan dianggap sebagai kebenaran yang berlaku umum, rezim kebenaran.Â
Hal itu sejalan dengan pemikiran yang dikembangkan Althusser (1971) yang mengatakan bahwa ideologi membutuhkan basis material untuk penyebarannya sekaligus ideological state aparatus (ISA), aparat negara ideologis, yang akan menciptakan praktik representasi secara ajeg di dalam masyarakat.Â
Proses representasi tersebut menghasilkan interplasi subjek (subjek seperti dipanggil) yang akan memunculkan relasi imajiner antara subjek tersebut dengan wacana dominan, tidak ada subjek di luar wacana ideologis.Â
Ketika subjek-subjek sudah merelasikan tindakan dan pikirannya dengan wacana ideologis tertentu, maka kepentingan kuasa bisa berjalan secara wajar karena mereka juga merasa memerlukannya. Â
Keberadaan kelas dan relasi kuasa tidak akan berfungsi efektif ketika mereka tidak bisa menciptakan konsensus dari kelas-kelas lain. Hal itu sekalian mengkritisi dalil-dalil deterministik Marxis tentang kelas maupun ideologi yang lebih mengedepankan determinasi ekonomi, tanpa banyak memberikan penekanan pada mekanisme penyebaran kuasa.Â
Konsensus tersebut bisa berlangsung ketika wacana-wacana ideologis yang ada dalam masyarakat, baik yang berasal dari kelas subordinat maupun kelas kuasa, diartikulasikan dalam sebuah proses diskursif yang kompleks.Â
Dalam pemikiran Hall, sebagaimana dikutip Slack (1997: 115), artikulasi merupakan bentuk koneksi atau jejaring yang mempersatukan beragam wacana ideologis melalui mekanisme-mekanisme tertentu, semisal melalui budaya populer, sehingga struktur wacana baru yang tercipta bersifat kompleks karena melibatkan relasi dominasi dan subdordinasi.Â
Ketika bermacam wacana dan kepentingan diartikulasikan, maka akan muncul ideologi baru yang lebih kompleks dan bisa menjadi kerangka berpikir dan tindakan bagi anggota sebuah masyarakat, termasuk dalam praktik representasi (Van Dijk, 2007: 284).Â
Ideologi baru tersebut akan terus menyebar dalam bentuk wacana-wacana ideologis konsensual yang menjadi poin utama dari berlangsungnya praktik-praktik diskursif hegemoni.
Wacana konsensual merupakan poin utama dari praktik diskursif hegemoni, karena apa-apa yang tercipta di dalamnya, bisa berpengaruh pada dominasi terhadap medan diskursivitas, praktik-praktik sosial (Laclau & Mouffe, 2001: 82). Dengan adanya wacana konsensual, bukan berarti wacana-wacana akan berhenti di situ.Â