Situasi tersebut mempengaruhi kondisi psikologisnya dalam menghadapi masa lalunya (Santiago, 2012: 31). Masalah tersebut, selanjutnya, membuat Negi mengevaluasi kembali warisan budayanya dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi masa depannya di AS.Â
Ayahnya adalah penanda keterkaitan dan keterlibatannya dengan masyarakat, bangsa dan budaya Puerto Rico. Sejak ayahnya memiliki keluarga baru, ia merasakan perubahan dalam ikatan keluarga di mana keharmonisan hanya tinggal kenangan.Â
Dalam benaknya, Negi mulai memikirkan kembali arti menjadi seorang Puerto Rico, ketika Papi dan seluruh kerabatnya sudah tidak muungkin lagi ditunggu untuk hadir di rumahnya, di Brooklyn. Meski Negi tidak memiliki trauma politik, ketidakhadiran Papi dalam hidupnya menjadi masalah.Â
Bagi warga diasporik, persoalan tidak hanya terkait dengan hilangnya ikatan keluarga, tetapi juga terkait dengan keberanian mengevaluasi keterkaitan dengan tanah air dan masyarakatnya. Mengapa? Pasalnya di tanah airnya banyak orang yang membuatnya sedih. Kenangan tentang tanah air mungkin masih ada, tapi sudah tidak utuh lagi.
Ketika tanah airnya tidak lagi menjadi orientasi dominan, Negi mulai membuka pikirannya untuk mempelajari dan memahami budaya Amerika. Kehidupannya di AS secara bertahap mendorong Negi untuk mempelajari apa yang dibutuhkan sebagai seorang imigran di tengah-tengah masyarakat Amerika.Â
Ketika budaya Puerto Rico tidak lagi menjadi eksistensi dominan dalam pikirannya, identitas dan ingatan lama dari masa lalu bukanlah penghalang untuk menerima dan menyerap nilai-nilai dan praktik budaya baru. Lebih dari itu, Negi mencoba mengapresiasi kehidupan barunya di New York karena adanya kesempatan dan janji akan kehidupan yang lebih baik.
Mimikri dan ApropriasiÂ
Mengusahakan strategi bertahan hidup di tengah keragaman budaya Amerika sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, bahasa memainkan peran penting untuk bertahan hidup karena merupakan alat untuk mempelajari dan menyerap nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat induk.Â
Pada awal hidupnya di AS, Negi mengalami beberapa kesulitan karena bahasa Inggrisnya buruk. Ia, misalnya, mendapat diskriminasi linguistik dari teman-teman sekolahnya karena ketidakmampuannya berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang baik. Secara administratif, masalah ini hampir membuatnya tertinggal satu kelas.
Bagi semua imigran yang ingin tinggal di AS, kemampuan bahasa Inggris merupakan persyaratan mutlak. Nilai, gaya hidup, dan tindakan yang sesuai dengan konsensus hanya dapat dipelajari di sekolah dan kehidupan sehari-hari melalui kemampuan bahasa Inggris.Â
Kondisi ini membuatnya bersemangat untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris, baik secara lisan maupun tulisan. Orientasi ideal untuk diterima oleh warga kulit putih Amerika menggandakan antusiasmenya untuk memperbaiki kecakapan bahasa Inggrisnya dari waktu ke waktu, di mana pun ia berada.Â