Kesadaran akan pentingnya keluarga juga membantu Negi dalam membuat keputusan penting di akhir cerita ketika ia dihadapkan pada dua pilihan: pindah ke Miami bersama pacarnya, Ulvi, atau tinggal bersama ibu dan keluarganya di New York.Â
Ia, lagi-lagi, harus memilih pilihan yang cukup sulit karena berkaitan dengan dua prinsip ideologis yang cukup menentukan, yakni merayakan kebebasan mutlak dengan hidup bersama kekasihnya tanpa ikatan perkawinan dan menjalani konservatisme dengan hidup bersama ibu dan keluarganya.
Selama kami menjadi sepasang kekasih, tidak pernah terpikir olehku bahwa aku harus membuat pilihan seperti itu. Suatu hari, Ulvi akan kembali ke Turki; atau ke Jerman; atau siapa yang tahu, siapa yang peduli ke mana. Ulvi-lah yang akan meninggalkan hidupku, bukan Mami.Â
Selama bertahun-tahun bersama Mami, La Muda, bibi dan sepupuku saat mereka mencintai, kehilangan, mencintai lagi, aku belajar bahwa cinta adalah sesuatu yang kamu lupakan. Jika Ulvi pergi, akan ada pria lain, tetapi tidak akan pernah ada Mami yang lain. (Santiago, 2012: 310)
Kesadaran pentingnya peran ibu dalam berbagai kemungkinan di masa depan menjadi kekuatan utama untuk tetap bersama keluarga. Retorika kritis dalam benaknya tentang siapa yang akan bersama dan meninggalkannya di masa depan merupakan representasi pemikiran rasional dan komitmen keluarga dalam menyelesaikan masalah yang pelik.Â
Ingatan dan pemahaman akan pentingnya kehadiran ibu dalam kehidupan dan semua capaiannya selama ini menjadi faktor utama yang membuatnya bertahan hidup bersama keluarga.
Keberaniannya berpikir bahwa suatu saat Ulvi, dengan alasan apa pun, bisa meninggalkannya, tetapi Mami tidak akan melakukannya, merepresentasikan kemandirian subjek diasporik perempuan yang berani menegaskan kesetaraan gender dengan laki-laki.Â
Memang Negi tidak menolak kehadiran laki-laki, tetapi karena pemahaman tentang kesetaraan gender sebagai salah satu nilai ideologi feminisme membuat perempuan ini berani untuk tidak bergantung padanya. Pilihan ini sekaligus menjadi titik temu strategis antara kearifan keluarga dan perjuangan emansipatoris.Â
Tentu saja, Mami juga merupakan contoh sempurna bagaimana ia memperjuangkan kesembuhan putranya ketika suaminya tidak mau pergi ke AS. Jadi, dalam keluarganya, sebenarnya Negi bisa terus mendapatkan kekuatan sebagai modal untuk menjadi perempuan sejati sembari terus menegosiasikan ke-Puerto Rico-an, tanpa melupakan upaya untuk kemajuan hidup yang sangat dinamis di AS.Â
Persoalan identitas budaya dalam kerangka hibrid, dengan demikian, tidak berhenti pada satu tahap akhir, tetapi berlanjut dalam berbagai dinamika dan ketegangan, tetapi kesadaran etis-kritis yang akan membentuk subjektivitas yang fleksibel di tengah-tengah masyarakat tuan rumah.Â
Mustahil bagi Negi untuk kembali ke budaya Puerto Rico sepenuhnya karena nilai-nilai liberal telah menjadi keyakinan ideologisnya saat masih muda. Paling tidak, keluarga dan sebagian budaya Puerto Rico akan menjadi penanda bahwa di tengah hegemoni budaya Amerika, masih ada ruang untuk strategi subjektivitas yang tetap berbeda di tengah mimikri dan hibriditas.