Unhomeliness ini menimbulkan makna dualitas yang memposisikan tanah air dan segenap subjek di dalamnya sebagai hal yang ideal untuk diingat karena kondisi negara induk masih belum memberikan kehangatan. Waktu-waktu sebelumnya di Puerto Rico adalah kenangan terbaik yang ia ingin kembalikan kapan pun ia dilanda masalah.
Perasaan nostalgik dan kerinduannya akan tanah air menjadi kuat, ketika ia  menjelaskan keinginannya untuk kembali ke pedesaan Macun (Santiago, 2012: 39). Tanah air merupakan bagian penting dari identitas budaya dan meninggalkannya berarti kehilangan berbagai peristiwa yang membentuk jati dirinya.Â
Karena itu, bisa bersatu kembali dengan tanah air menjadi sumber kegembiraan luar biasa yang ingin ia rasakan. Deskripsi tanah air dan citra alamnya dalam novel ini merepresentasikan nostalgia, yang juga terkait erat dengan konsep perpindahan.Â
Nostalgia terjadi ketika ingatan dan sejarah saling membiaskan. Ini memungkinkan subjek diasporik untuk menjelajahi jaringan hubungan kekuasaan di mana mereka telah terperangkap di dunia modern, dan di luar itu seringkali tidak mungkin untuk bergerak (Walder, 2012).
Mengingat tanah air juga menghasilkan kesedihan terkait masalah tertentu. Dalam kasus Negi, perceraian orang tuanya menghasilkan energi negatif yang menghantui pikiran dan imajinasinya. Kenyataan ini menggandakan masalah psikologis yang dialami oleh subjek diasporik saat ia merasa 'tak berumah' (tidak merasakan kenyamaan secara kultural) di masyarakat Amerika.Â
Maka, mengidealkan masa lalu seringkali merupakan proyek imajinasi yang berbenturan dengan kenyataan pahit, meski ada kebahagiaan yang bisa direkonstruksi. Negi berpikir bahwa ia tidak akan menghadapi kesulitan dan tetap memiliki kehidupan yang nyaman di Puerto Rico jika orang tuanya masih bersama (Santiago, 2012: 31).Â
Negi berpindah secara emosional dari rumah nyaman ayahnya yang tidak ingin mengikuti ibunya ke New York. Ia terus merindukan tanah airnya sebagai rumah yang sebenarnya. Sekali lagi, ia larut dalam unhomeliness di masyarakat induk.
Rumah adalah tempat nyaman bagi bermacam hasrat dan keinginan dalam imajinasi imigran. Rumah bukan hanya sekedar struktur fisik bangunan di lokasi geografis tertentu tetapi juga ruang emosional dengan pengalaman psikologis (Rebeinstein dikutip dalam Marganingsih, 2010: 12-13).Â
Negi mengalami kondisi unhomely. Tyson (2006: 421) berpendapat bahwa unhomely tidak sama dengan menjadi tunawisma. Menjadi unhomely bukanlah merasa tidak nyaman di rumah secara fisik. Bahkan ketika kita berada di rumah sendiri kita merasa tidak nyaman dan terasing karena krisis identitas budaya kita membuat diri kita menjadi "pengungsi psikologis."
Kondisi unhomely ini membuat Negi bernostalgia dengan tanah air dan semakin terasing di tengah-tengah masyarakat Amerika. Ia menderita dan menyesali keputusannya untuk mengikuti ibunya tetapi ia tidak dapat melakukan apapun kecuali menerima situasi ini. Ini juga menunjukkan bahwa Negi hidup di antara masa lalu dan sekarang karena ia merasa kehidupan sebelumnya jauh lebih baik.Â
Negi membayangkan kehidupan ayahnya di Puerto Rico. Namun kenyataan bahwa ayahnya telah menikah dengan perempuan lain dan pindah ke tempat yang tidak diketahuinya membuatnya kecewa karena ayahnya bahkan tidak memperhatikan perasaan ibunya. Ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa ayahnya memutuskan untuk memulai hidup baru dengan perempuan lain.Â