Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita dengar kawan mengatakan, "Wah wajah perempuan itu Oriental banget, ya" atau "Kulitmu Oriental ya". Ungkapan-ungkapan itu tidak diutarakan oleh orang-orang yang secara geografis berada di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, tetapi oleh warga Indonesia.Â
Ungkapan-ungkapan itu biasanya merujuk kepada perempuan atau, secara umum, warga bermata sipit dan berkulit bersih. Entah, sejak kapan istilah dan makna Oriental mengerucut kepada penggambaran demikian. Bisa jadi karena booming industri budaya (film, acara televisi, musik) di kawasan Asia yang mempopulerkan bintang dari Hongkong, China, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.
Pemahaman demikian cenderung mendistorsi makna Oriental serta melepaskan kompleksitas historis kolonial yang menyertainya. Namun, pergeseran makna tersebut merupakan proses kultural yang wajar berlangsung di tengah-tengah kurang kuatnya pemahaman historis terhadap sebuah istilah ataupun konsep.Â
Apalagi, pengetahuan tentang sejarah panjang kolonial dengan beragam praktik dan wacana yang melingkupinya tentu tidak akan dipelajari di semua bidang pendidikan.
Maka, menempatkan kembali istilah Orient, Oriental, Orientalis, dan Orientalisme dalam ranah humaniora, setidaknya, bisa memberikan pemahaman-kembali tentang istilah-istilah tersebut beserta dimensi teoreitis, ideologis, dan politis yang menyertainya dalam proses historis kehidupan manusia.Â
Edward Wadie Said adalah intelektual publik yang secara brilian menelisik persoalan kolonialisme yang melibatkan penjajahan manusia-manusia rasional Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis serta perkembangannya di era pascakolonial.Â
Melalui studi pustaka dengan memodifikasi teori wacana dan pengetahuan/kuasa Michel Foucault dan teori hegemoni Antonio Gramsci, dengan jeli Said melalui bukunya Orientalism (1979)Â menunjukkan betapa superioritas yang dibangun Barat melalui proyek-proyek peradaban rasionalnya membutuhkan "partner sekaligus musuh,"Â
Mereka berasal dari ruang geografis dan kultural lain untuk melegitimasi semua kebenaran dan kuasanya. Dan, mereka berada di ruang geo-kultural non-Barat yang bernama Timur, Orient.
Kolonialisme membutuhkan produksi pengetahuan tentang Timur bukan hanya untuk mencanggihkan kualitas pengetahuan Barat, tetapi, lebih dari itu, untuk membuktikan bahwa terdapat kelompok-kelompok manusia yang secara kultural dan pengetahuan berada pada level bawah karena mereka tidak berpendidikan dan tidak berpikiran maju.Â