Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orientalisme dan Kuasa Kolonial: Membaca Pemikiran Edward Said

26 Januari 2023   11:50 Diperbarui: 29 Januari 2023   08:05 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Water Carrier at the Harem Entrance, 1883 (Gustave Boulanger). Sumber: Wikimedia Commons 

Pengantar

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita dengar kawan mengatakan, "Wah wajah perempuan itu Oriental banget, ya" atau "Kulitmu Oriental ya". Ungkapan-ungkapan itu tidak diutarakan oleh orang-orang yang secara geografis berada di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, tetapi oleh warga Indonesia. 

Ungkapan-ungkapan itu biasanya merujuk kepada perempuan atau, secara umum, warga bermata sipit dan berkulit bersih. Entah, sejak kapan istilah dan makna Oriental mengerucut kepada penggambaran demikian. Bisa jadi karena booming industri budaya (film, acara televisi, musik) di kawasan Asia yang mempopulerkan bintang dari Hongkong, China, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.

Pemahaman demikian cenderung mendistorsi makna Oriental serta melepaskan kompleksitas historis kolonial yang menyertainya. Namun, pergeseran makna tersebut merupakan proses kultural yang wajar berlangsung di tengah-tengah kurang kuatnya pemahaman historis terhadap sebuah istilah ataupun konsep. 

Apalagi, pengetahuan tentang sejarah panjang kolonial dengan beragam praktik dan wacana yang melingkupinya tentu tidak akan dipelajari di semua bidang pendidikan.

Maka, menempatkan kembali istilah Orient, Oriental, Orientalis, dan Orientalisme dalam ranah humaniora, setidaknya, bisa memberikan pemahaman-kembali tentang istilah-istilah tersebut beserta dimensi teoreitis, ideologis, dan politis yang menyertainya dalam proses historis kehidupan manusia. 

Edward Wadie Said adalah intelektual publik yang secara brilian menelisik persoalan kolonialisme yang melibatkan penjajahan manusia-manusia rasional Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis serta perkembangannya di era pascakolonial. 

Melalui studi pustaka dengan memodifikasi teori wacana dan pengetahuan/kuasa Michel Foucault dan teori hegemoni Antonio Gramsci, dengan jeli Said melalui bukunya Orientalism (1979) menunjukkan betapa superioritas yang dibangun Barat melalui proyek-proyek peradaban rasionalnya membutuhkan "partner sekaligus musuh," 

Mereka berasal dari ruang geografis dan kultural lain untuk melegitimasi semua kebenaran dan kuasanya. Dan, mereka berada di ruang geo-kultural non-Barat yang bernama Timur, Orient.

Women of Algier (Eugène Delacroix). Sumber: Wikimedia Commons  
Women of Algier (Eugène Delacroix). Sumber: Wikimedia Commons  
Kolonialisme membutuhkan produksi pengetahuan tentang Timur bukan hanya untuk mencanggihkan kualitas pengetahuan Barat, tetapi, lebih dari itu, untuk membuktikan bahwa terdapat kelompok-kelompok manusia yang secara kultural dan pengetahuan berada pada level bawah karena mereka tidak berpendidikan dan tidak berpikiran maju. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun