Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita dengar kawan mengatakan, "Wah wajah perempuan itu Oriental banget, ya" atau "Kulitmu Oriental ya". Ungkapan-ungkapan itu tidak diutarakan oleh orang-orang yang secara geografis berada di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, tetapi oleh warga Indonesia.
Ungkapan-ungkapan itu biasanya merujuk kepada perempuan atau, secara umum, warga bermata sipit dan berkulit bersih. Entah, sejak kapan istilah dan makna Oriental mengerucut kepada penggambaran demikian. Bisa jadi karena booming industri budaya (film, acara televisi, musik) di kawasan Asia yang mempopulerkan bintang dari Hongkong, China, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.
Pemahaman demikian cenderung mendistorsi makna Oriental serta melepaskan kompleksitas historis kolonial yang menyertainya. Namun, pergeseran makna tersebut merupakan proses kultural yang wajar berlangsung di tengah-tengah kurang kuatnya pemahaman historis terhadap sebuah istilah ataupun konsep.
Apalagi, pengetahuan tentang sejarah panjang kolonial dengan beragam praktik dan wacana yang melingkupinya tentu tidak akan dipelajari di semua bidang pendidikan.
Maka, menempatkan kembali istilah Orient, Oriental, Orientalis, dan Orientalisme dalam ranah humaniora, setidaknya, bisa memberikan pemahaman-kembali tentang istilah-istilah tersebut beserta dimensi teoreitis, ideologis, dan politis yang menyertainya dalam proses historis kehidupan manusia.
Edward Wadie Said adalah intelektual publik yang secara brilian menelisik persoalan kolonialisme yang melibatkan penjajahan manusia-manusia rasional Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis serta perkembangannya di era pascakolonial.
Melalui studi pustaka dengan memodifikasi teori wacana dan pengetahuan/kuasa Michel Foucault dan teori hegemoni Antonio Gramsci, dengan jeli Said melalui bukunya Orientalism (1979) menunjukkan betapa superioritas yang dibangun Barat melalui proyek-proyek peradaban rasionalnya membutuhkan "partner sekaligus musuh,"
Mereka berasal dari ruang geografis dan kultural lain untuk melegitimasi semua kebenaran dan kuasanya. Dan, mereka berada di ruang geo-kultural non-Barat yang bernama Timur, Orient.
Kolonialisme membutuhkan produksi pengetahuan tentang Timur bukan hanya untuk mencanggihkan kualitas pengetahuan Barat, tetapi, lebih dari itu, untuk membuktikan bahwa terdapat kelompok-kelompok manusia yang secara kultural dan pengetahuan berada pada level bawah karena mereka tidak berpendidikan dan tidak berpikiran maju.
Argumen tersebut, lebih jauh lagi, merupakan cara untuk selalu memosisikan Timur dalam posisi subordinat dan harus mengikuti logika Barat ketika ingin mengalami proyek-proyek modernitas.
Kolonialisme, dengan demikian, dinalarkan sebagai "proyek kemanusiaan" atau "misi pemeradaban" untuk menjadikan manusia dan budaya Oriental maju dalam arahan perbadaban Barat.
Dampaknya praktik eksploitasi kekayaan alam dan manusia serta beragam kekejaman menjadi "tidak begitu penting" untuk dijadikan wacana utama dalam banyak karya Barat, seperti karya sastra, tulisan etnografis, lukisan, majalah, dan yang lain.
Tulisan ini merupakan usaha untuk, pertama-tama, menguraikan konstruksi teoretis Orientalisme yang dikembangkan oleh Said. Orientalisme bukan hanya berbicara representasi superioritas Barat dan inferioritas Timur dalam produk-produk kebudayaan.
Lebih dari itu, ada kepentingan kuasa kolonial dalam bidang politik, ekonomi, religi, dan budaya serta transformasinya di masa kini yang harus dibongkar, diuraikan, dikritisi, dan disampaikan ke publik sehingga diharapkan muncul kesadaran kritis tentang kompleksitas istilah Oriental dan bermacam turunannya.
Uraian teoretis ini dimaksudkan untuk memberikan pijakan analitik untuk para peneliti yang ingin mendalami konstruksi subordinasi Timur dalam karya sastra ataupun produk kultural lainnya, seperti film, acara televisi, majalah, booklet wisata, baliho, dan masih banyak lagi.
Setidaknya, dengan uraian teoretis yang berasal dari bukunya secara langsung dan dilengkapi dari sumber-sumber terkait lainnya, kita tidak akan salah arah dan salah jalan dalam mengoperasionalkan teori yang dituliskan Said serta tidak mengabaikan kepentingan strategisnya untuk membongkar beroperasinya kuasa melalui praktik diskursif dan relasi kontekstualnya dengan kondisi historis.
Memasuki Dunia Timur
Dalam pemahaman Said, Orient atau Timur, bukan sekedar sebutan geografis untuk wilayah yang berbeda dari Barat—dalam hal ini Eropa Barat, dan pada perkembangan berikutnya termasuk Amerika Serikat. Memang benar, Orient adalah sebutan untuk manusia, masyarakat, dan bangsa yang secara geografis mendiami bukan wilayah Barat.
Namun, kehadiran istilah Orient, sejatinya, memiliki makna-makna politis yang dilekatkan kepada kepentingan kolonialisasi Barat terhadap Timur. Sejak awal, Said sudah memberikan batasan yang tegas dan jelas terkait makna Timur.
Pertama, Timur merupakan temuan manusia Eropa dan sejak masa kuno ia menjadi tempat romansa, kehidupan eksotis, ingatan dan pengalaman yang menghantui, dan pengalaman tak terlupakan. Romansa berkaitan erat dengan petualangan dan berbagai macam cerita yang didapatkan manusia-manusia Eropa, sejak era kuno hingga kolonial.
Maka, ketika tempat-tempat petualangan itu semakin berkurang, seringkali manusia Barat bertanya-tanya karena segala citra menarik, mendebarkan, misterius ternyata sudah banyak hilang. Kehidupan eksotis berkorelasi dengan manusia, hewan, alam, dan hal-hal lain yang berada di tempat jauh dan berbeda dari yang ada di dunia dan pikiran manusia Barat.
Tempat-tempat itulah yang memberikan bermacam pengalaman dan petualangan liar di mana mereka dihantui bermacam masalah yang harus diselesaikan dengan rasionalitas. Cerita-cerita yang terus disebarluaskan melalui karya kultural, menjadikan pemahaman akan Timur masih menyimpan residu eksotika dalam benak manusia manusia Barat.
Aspek-aspek tersebut tentu berbeda dari apa yang dipahami oleh orang-orang Amerika yang lebih memosisikan segala hal Oriental berkaitan dengan Tionghoa dan Jepang.
Kedua, Timur tidak hanya berbatasan dengan Eropa; ia juga merupakan tempat koloni terbesar, terkaya dan tertua di Eropa, sumber peradaban dan bahasa, kontestan budayanya, dan salah satu citra Sang Liyan yang paling dalam dan paling sering muncul sebagai citra, ide, pengalaman dan kepribadian yang berbeda.
Pemahaman ini mengingatkan bahwa Timur bukan sekedar bentuk atau kategori wacana yang merupakan biner dari Barat. Timur tidak hanya ruang geografis yang berbatasan dengan Barat.
Lebih dari itu, Orient adalah ruang yang pernah dieksploitasi secara langsung oleh penjajah Barat seperti Inggris, Perancis, Italia, Spanyol, dan Jerman yang memberikan banyak kekayaan secara material, sehingga mereka bisa mencapai tahapan menjadi bangsa dan negara maju secara ekonomi.
Di sanalah para pemukim dan penjajah Eropa merasakan kehidupan lain, termasuk menemukan kontestan atau oponen dari kebenaran pengetahuan dan budaya Barat berbasis rasionalitas.
Kekuatan modern Barat menemukan legitimasinya dari pembedaan biner dengan budaya dan pengetahuan manusia yang sering dikatakan berperadaban rendah karena tidak berpendidikan dan tidak beragam sesuai dengan cara Eropa Barat.
Meskipun, Timur adalah sumber bermacam peradaban, budaya, pengetahuan, dan bahasa, superioritas manusia Barat selalu mengkonstruksi itu semua sebagai sesuatu yang hanya ‘bergumam’ dan tidak pantas ‘bersuara’. Citra demikian itu seringkali dimunculkan dalam bermacam produk kultural di era kolonial maupun pascakololonial.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa Timur dengan beragam kompleksitasnya yang telah di-stereotipisasi sebagai rendahan dan subordinat merupakan bagian tak terpisahkan dari peradaban dan budaya material Barat. Karena kehadiran mereka merupakan oposisi biner yang menjadikan istilah, wacana, budaya, dan peradaban Barat menjadi terus ada dan kuat.
Jadi, berbicara Timur itu juga berbicara realitas dan ruang geografis yang mengalami peristiwa historis kolonial serta transformasinya hingga masa kini.
Memahami Orientalisme
Pemahaman makna Orientalisme yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kuasa kolonial dalam melegitimasi pengaruh internasional Barat bukan hanya menjadi proyek pelaku penjajahan secara langsung.
Lebih dari itu, semua pihak yang berada dalam pengaruh medan kolonialisme, baik di negeri jajahan ataupun di metropolitan Eropa Barat ikut berkontribusi dalam mengkonstruksi (menuliskan, menggambarkan, melaporkan, menyebarluaskan) makna atau wacana terkait manusia, ruang geografis, budaya, bahasa, agama, dan peradaban Timur secara luas.
Massifikasi itulah yang pada akhirnya mengkonstruksi apa yang dinamakan Orientalisme yang dengannya manusia Barat bisa memahami Timur yang didasarkan pada tempat khususnya dalam pengalaman Eropa Barat.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari peradaban Barat, Orientalisme mengekspresikan dan merepresentasikan Timur secara kultural dan bahkan secara ideologis sebagai bentuk wacana dengan lembaga-lembaga pendukung, kosa kata, kepakaran, pencitraan, doktrin, bahkan birokrasi dan gaya hidup kolonial.
Realitas tersebut tersebut, mendorong Said memberikan beberapa pemahaman terkait Orientalisme yang dikembangkan dari teori wacana dan kuasa/pengetahuan Foucauldian.
Pertama, desain Orientalisme yang paling bisa diterima dan masuk akal adalah segala wacana dan pengatahuan yang berasal dari manusia dan institusi akademis. Dalam pemahaman ini, dibutuhkan para pakar dengan keahlian tertentu untuk meneliti, menulis, dan mengajarkan tentang ke-Timur-an.
Ini menegaskan bahwa para antropolog, sosiolog, sejarawan, atau filolog dalam aspek khusus maupun umum merupakan seorang orientalis, karena mereka menelaah dan menuliskan aspek-aspek budaya Timur kepada publik. Segala aktivitas yang ia lakukan dan produk yang menyertainya merupakan Orientalisme.
Di masa kolonial, bahkan di masa pascakolonial, para pakar banyak meneliti masyarakat dan budaya Timur sehingga hasil penelitian mereka ikut berkontribusi untuk mengkonstruksi pemahaman akademisi dan warga Barat tentang eksotika ataupun inferioritas Timur.
Kedua, Orientalisme adalah gaya pemikiran yang didasarkan pada perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur dan Barat.
Dalam perbedaan stereotip, massa penulis yang sangat besar, di antaranya adalah penyair, novelis, filsuf, teoretisi, politisi, ekonom, dan administratur kekaisaran, menerima perbedaan mendasar antara Timur dan Barat sebagai titik awal untuk teori, epos, novel, teori sosial, deskripsi yang rumit, dan laporan politik tentang Timur, orang-orangnya, adat istiadat, pikiran, takdir, dan sebagainya.
Pemahaman ini menjadikan oposisi biner yang dikonstruksi oleh para penjajah dan aparatus menjadi rezim kebenaran yang mempengaruhi cara pandang banyak pihak, baik akademisi, pejabat pemerintah, warga Eropa di metropolitan, maupun para pemukim di tanah jajahan.
Ketiga, mengambil akhir abad ke-18 sebagai titik awal Orientalisme didiskusikan dan dianalisis sebagai “institusi korporat” yang berurusan dengan Timur.
Ada pihak-pihak yang membuat pernyataan tentang timur, meng-otorisasi pandangan tentangnya, menggambarkannya, mengajarkannya, memapankannya, dan berkuasa atasnya. Singkatnya, Orientalisme menjadi gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan memiliki otoritas atas Timur.
Dengan pemahaman di atas, apa yang harus diperhatikan adalah kuasa Barat untuk mendefinisikan bermacam hal tentang Timur melalui beragam aparatus diskursif dalam ranah akademis, birokrasi, ekonomi, maupun politik.
Orientalisme sebagai kontruksi wacana, gaya pemikiran, dan institusi yang dibuat dan disebarluaskan oleh Barat memberikan keuntungan kepada mereka. Barat memiliki keleluasaan untuk membuat narasi sastrawi, teks ilmiah, berita di majalah, brosur pariwisata dan pameran, sehingga yang berhak berbicara tentang Timur adalah Barat.
Orientalisme merupakan wacana yang bergerak lintas-disiplin dan lintas-bidang sehingga menghasilkan pemahaman tentang Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif selama periode pasca-Pencerahan.
Maka, dengan memapankan Orientalisme sebagai praktik diskursif dan politik pengetahuan yang menyebarluas, baik di wilayah metropolitan maupun jajahan, akan mendapatkan keuntungan politik dengan terus menempati posisi superior dengan kehadiran “mereka yang di-liyan-kan.”
Praktik tersebut sejatinya bertentangan dengan semangat modernisme yang mengedepankan kesetaraan antarumat manusia tanpa memandang ras, etnis, dan agama mereka.
Apa yang harus diingat, Timur bukanlah entitas yang tidak punya sejarah dan tradisi. Sebagai realitas geo-kultural, Timur tentu memiliki kekayaan budaya sepertihalnya Barat. Membedakan adalah pandangan dunia Timur dan Barat yang berbeda karena situasi ekonomi dan politik yang juga berbeda.
Namun, dalam praktik kolonial di mana kekuasaan penjajah begitu kuat dan determinan, keberadaan sejarah, tradisi, citra, dan kosa kata kultural hadir di dalam dan untuk Barat. Artinya, perbedaan biner antara Barat dan Timur menjadikan Orient selalu berada dalam medan kuasa Barat.
Sebaliknya, Timur juga mendapatkan legitimasi ketika ia memandang Barat yang berbeda. Bisa dikatakan, dua entitas geografis ini saling mendukung, dan secara luas saling merefleksikan. Maka, perlu kiranya kita memahami beberapa kualifikasi yang masuk akal ketika membincang Timur dan Orientalisme agar salah paham.
Pertama, salah kiranya menyimpulkan Timur secara esensial hanyalah ide atau sebuah ciptaan tanpa realitas yang berhubungan. Orientalisme secara prinsip membahas konsistensi internal Orientalisme dan ide-idenya tentang Timur, terlepas dari atau di luar korespondensi apa pun, dengan Orient yang nyata.
Apa yang dimaksudkan Said adalah bahwa Orientalisme yang ia ungkapkan akan memosisikan konsistensi wacana dan pengetahuan terkait Timur yang dikonstruksi secara massif dalam banyak karya kultural. Desraelli dalam novelnya, Tranced, misalnya, mengatakan bahwa “Timur adalah karir.”
Baginya, Timur adalah sesuatu yang akan ditemukan oleh orang muda Barat yang cerdas yang memiliki banyak hasrat, bukan mengatakan bahwa Timur hanya karier bagi orang Barat.
Memang benar, ada budaya dan negara-negara yang lokasinya di Timur dengan kehidupan, sejarah, dan adat-istiadat mereka memiliki realitas yang jauh jelas lebih besar dan kompleks daripada yang dikatakan tentang mereka di Barat.
Karena kepentingan para Orientalis adalah menstereotipisasi Timur dalam teks dan wacana beku, maka keluarbiasaan manusia dan budaya Timur tidak akan di-eskpos sedetil mungkin.
Kedua, bahwa semua gagasan, budaya, dan sejarah tidak akan bisa dipahami secara mendalam tanpa menelisik kekuatan mereka—atau lebih tepatnya konfigurasi kekuasaan mereka. Memercayai bahwa Timur diciptakan atau “di-Orientalisasi-kan” dan meyakini bahwa hal-hal seperti itu terjadi hanya sebagai kebutuhan imajinasi adalah tidak jujur.
Hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuasaan, dominasi, berbagai tingkat hegemoni yang kompleks. Konsep hegemoni ini menegaskan bahwa konstruksi apapun tentang Timur oleh Barat bertujuan untuk mensubordinasi mereka dalam sebuah relasi yang menguntungkan pihak penjajah.
Untuk kepentingan itu, Timur di-Orientalisasi-kan bukan hanya karena penjajah dan penulis Barat menemukannya sebagai Timur secara geografis, tetapi juga bisa jadi dibuat menjadi Timur untuk kepentingan tertentu.
Kisah pertemuan sastrawan Perancis, Flaubert dengan pelacur Mesir menghasilkan konstruksi tentang model perempuan Timur yang banyak berpengaruh pada pandangan manusia Eropa. Perempuan Timur tidak pernah berbicara tentang dirinya sendiri, tidak pernah merepresentasikan emosi, kehadiran, atau sejarahnya.
Flaubert sebagai lelaki Barat, relatif kaya, dan sastrawan menjadi subjek otoritatif yang berbicara untuk dan mewakili perempuan itu, Kuchuk Hanem. Dia memiliki fakta dominasi yang memungkinkannya tidak hanya memiliki si pelacur secara fisik tetapi juga menuliskan dan memberitahu pembacanya bagaimana cara perempuan Mesir itu menjadi “Oriental secara tipikal."
Pola yang dimainkan Flaubert merupakan contoh sederhana yang berada dalam ruang terisolasi. Model itu mewakili pola kekuatan relatif antara Timur dan Barat, dan wacana tentang Timur diaktifkan.
Ketiga, kita tidak bisa berasumsi bahwa struktur Orientalisme tidak lebih dari struktur kebohongan atau mitos yang jika kebenarannya dikatakan akan meledak begitu saja. Orienlalisme harus dibaca sebagai tanda kekuasaan Eropa atas Timur alih-alih sebagai wacana nyata tentang Timur (yang diklaim, dalam bentuk akademis atau ilmiahnya).
Kekuatan wacana Orientalis berhubungan erat dengan lembaga sosial-ekonomi dan politik yang memungkinkan serta dan daya tahan yang cukup awet, dari masa kolonial hingga pascakolonial. Dengan demikian, Orientalisme bukanlah fantasi Eropa yang sejuk tentang Timur, tetapi suatu badan teori dan praktik yang dibuat untuk banyak generasi dan melibatkan investasi material cukup besar.
Investasi itu dilakukan untuk menjadikan Orientalisme (sistem pengetahuan tentang Timur) sebuah jaringan yang diterima untuk menyaring Timur ke dalam kesadaran Barat, sama seperti investasi yang sama berlipat ganda, pernyataan yang berkembang tentang Orientalisme sebagai budaya umum.
Maksudnya, apa-apa yang diwacanakan terkait Timur secara stereotip segera menjadi gambaran budaya secara umum, menegasikan kompleksitas yang ada di dalamnya.
Dengan ketiga kualifikasi tersebut Said, pada dasarnya, ingin menegaskan bahwa kita tidak bisa mengabaikan kepentingan kuasa yang menubuh dalam semua identifikasi, kategori, sebutan, dan labelisasi Timur. Itulah mengapa perspektif hegemoni Gramscian menjadi penting untuk membongkar Orientalisme.
Gramsci membuat perbedaan analitik yang berguna antara masyarakat sipil dan politik di mana yang pertama terdiri dari afiliasi sukarela (atau setidaknya rasional dan non-koersif) seperti sekolah, keluarga, dan serikat pekerja, yang terakhir dari lembaga negara (tentara, polisi, birokrasi pusat) yang perannya dalam pemerintahan adalah dominasi langsung.
Budaya, tentu saja, dapat ditemukan beroperasi dalam masyarakat sipil, di mana pengaruh gagasan, lembaga, dan orang lain bekerja bukan melalui dominasi tetapi oleh apa yang Gramsci sebut persetujuan.
Dalam masyarakat mana pun yang tidak totaliter, maka bentuk-bentuk budaya tertentu mendominasi Liyan, seperti halnya gagasan-gagasan tertentu lebih berpengaruh daripada yang lain; bentuk kepemimpinan budaya ini adalah apa yang telah diidentifikasi Gramsci sebagai hegemoni, sebuah konsep yang tak terpisahkan untuk setiap pemahaman tentang kehidupan budaya di kawasan industri Barat.
Mengikuti logika Gramscian, sistem Orientalisme merupakan produk kultural dan akademis yang berkontribusi kepada penguatan perbedaan biner antara Barat dan Timur. Manusia-manusia Barat dengan rasionalitas dan semua capaian peradabannya menempati posisi superior, baik di wilayah Eropa maupun non-Eropa.
Pengetahuan tersebut disebarluaskan melalui bermacam aparatus hegemonik seperti keluarga, sekolah, media, karya sastra, dan yang lain, sehingga memperkuat dan memperluas pengaruhnya terhadap kesadaran komunal tentang superioritas Barat beserta kepatutan ekonomi dan politik yang menyertainya.
Kebudayaan Eropa superior itulah yang diyakini menjadikannya kekuatan hegemonik di wilayah non-Eropa, termasuk wilayah jajahan. Penempatan Timur sebagai subjek inferior dengan segala makna keterbelakangannya menemukan legitimasinya ketika dihadapkan kepada keunggulan Barat.
Dalam proses demikian, pengetahuan Barat menjadi aparatus kekuasaan hegemonik karena keunggulannya yang bisa menjadi subjek Timur juga menganggapnya sebagai impian ideal untuk diwujudkan.
Tentu saja, itu semua juga bergantung pada kelenturan posisi superioritas yang dimainkan aparat Barat. Setidaknya, sejak akhir era Renaissance, ilmuwan, pedagang, tentara, dan misionaris berada di Timur, leluasa untuk melakukan identifikasi dan memikirannnya tanpa perlawanan berarti dari pihak pribumi.
Sejak akhir abad ke-18, Timur dimunculkan ke dalam banyak ruang dan bidang akademis, untuk dipajang di museum, untuk ilustrasi teoretis dalam tesis antropologis, biologi, linguistik, rasial, dan historis tentang umat manusia dan alam semesta, dan untuk contoh teori ekonomi dan sosiologis tentang pengembangan, revolusi, kepribadian, budaya, karakter nasional ataupun agama.
Selain itu, pemeriksaan imajinatif atas hal-hal Oriental didasarkan lebih atau kurang secara eksklusif pada kesadaran Barat yang berdaulat yang sentralitasnya muncul dari dunia Oriental.
Pertama-tama menurut gagasan umum tentang siapa atau apa itu Oriental, kemudian menurut logika terperinci yang diatur tidak hanya dengan realitas empiris tetapi oleh serangkaian keinginan, represi, investasi, dan proyeksi.
Apa yang perlu dicatat adalah bahwa pemikiran Orientalisme ini bukan hanya berlangsung di era kolonial ketika penjajah Barat benar-benar membutuhkan legitimasi diskursif terhadap keungunggulan pemikiran dan budayanya di atas bangsa lain yang berada dalam posisi inferior atau subordinat.
Di era pascakolonial ketika di muka bumi dikatakan sudah tidak ada lagi penjajahan secara administratif, stereotipisasi terhadap mereka yang berasal dari non-Barat bukan berarti berakhir.
Dalam banyak pemberitaan media ataupun narasi filmis tentang orang-orang yang secara ideologis berseberangan dengan kepentingan besar Barat untuk menegaskanya posisi hegemoniknya di muka bumi, masih akan direpresentasikan dalam citra atau ceria stereotip yang bermakna negatif.
Dalam film-film James Bond, misalnya, kita bisa menemukan bagaimana tokoh antagonis yang berasal dari wilayah berideologi komunis digambarkan sebagai kekuatan setan. Hal yang sama kita temukan dalam banyak pemberitaan terorisme yang dimobilisasi dan diidentikkan dengan orang-orang Timur Tengah beragama Islam yang ingin menghancurkan kekuatan Barat.
Karya-karya sastra kontemporer juga belum bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh medan wacana Oriental yang diwariskan secara turun-temurun dalam banyak literatur dan produk kultural lainnya.
Dengan demikian, banyak produk budaya juga memiliki kepentingan kuasa yang bisa diungkap dengan cara baca kritis, bukan sekedar deskritif yang menempatkan karya kultural, seperti sastra, iklan, berita wisata, film, tayangan televisi, dan yang lain sebagai murni informasi dan hiburan.
Untuk itulah kita perlu memosisikan diri kita sebagai subjek yang tidak silau oleh keindahan bahasa dan tampilan visual sebuah karya. Alih-alih siap untuk memiliki posisi kritis terhadap apa-apa yang tampak tidak berkepentingan, karena sejatinya kita akan berjumpa dengan banyak kepentingan.
Rujukan
Said, Edward W. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H