Kedua, Orientalisme adalah gaya pemikiran yang didasarkan pada perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur dan Barat.
Dalam perbedaan stereotip, massa penulis yang sangat besar, di antaranya adalah penyair, novelis, filsuf, teoretisi, politisi, ekonom, dan administratur kekaisaran, menerima perbedaan mendasar antara Timur dan Barat sebagai titik awal untuk teori, epos, novel, teori sosial, deskripsi yang rumit, dan laporan politik tentang Timur, orang-orangnya, adat istiadat, pikiran, takdir, dan sebagainya.
Pemahaman ini menjadikan oposisi biner yang dikonstruksi oleh para penjajah dan aparatus menjadi rezim kebenaran yang mempengaruhi cara pandang banyak pihak, baik akademisi, pejabat pemerintah, warga Eropa di metropolitan, maupun para pemukim di tanah jajahan.
Ketiga, mengambil akhir abad ke-18 sebagai titik awal Orientalisme didiskusikan dan dianalisis sebagai “institusi korporat” yang berurusan dengan Timur.
Ada pihak-pihak yang membuat pernyataan tentang timur, meng-otorisasi pandangan tentangnya, menggambarkannya, mengajarkannya, memapankannya, dan berkuasa atasnya. Singkatnya, Orientalisme menjadi gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan memiliki otoritas atas Timur.
Dengan pemahaman di atas, apa yang harus diperhatikan adalah kuasa Barat untuk mendefinisikan bermacam hal tentang Timur melalui beragam aparatus diskursif dalam ranah akademis, birokrasi, ekonomi, maupun politik.
Orientalisme sebagai kontruksi wacana, gaya pemikiran, dan institusi yang dibuat dan disebarluaskan oleh Barat memberikan keuntungan kepada mereka. Barat memiliki keleluasaan untuk membuat narasi sastrawi, teks ilmiah, berita di majalah, brosur pariwisata dan pameran, sehingga yang berhak berbicara tentang Timur adalah Barat.
Orientalisme merupakan wacana yang bergerak lintas-disiplin dan lintas-bidang sehingga menghasilkan pemahaman tentang Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif selama periode pasca-Pencerahan.
Maka, dengan memapankan Orientalisme sebagai praktik diskursif dan politik pengetahuan yang menyebarluas, baik di wilayah metropolitan maupun jajahan, akan mendapatkan keuntungan politik dengan terus menempati posisi superior dengan kehadiran “mereka yang di-liyan-kan.”
Praktik tersebut sejatinya bertentangan dengan semangat modernisme yang mengedepankan kesetaraan antarumat manusia tanpa memandang ras, etnis, dan agama mereka.
Apa yang harus diingat, Timur bukanlah entitas yang tidak punya sejarah dan tradisi. Sebagai realitas geo-kultural, Timur tentu memiliki kekayaan budaya sepertihalnya Barat. Membedakan adalah pandangan dunia Timur dan Barat yang berbeda karena situasi ekonomi dan politik yang juga berbeda.