Dengan demikian, ketika ada pihak-pihak tertentu yang ingin “mengembalikan kejayaan Orba” ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita bisa dengan cepat membaca formasi wacana dan praksis yang mereka mainkan, sehingga bisa melakukan antisipasi untuk melawan kebangkitan kembali formula rezim yang sama.
Pembangunan dan Pembangunanisme
Indonesia di bawah rezim Suharto, setelah menurunkan Sukarno dengan jalan yang seolah-olah konstitusional, adalah negara yang digerakkan dengan kebijakan “pintu terbuka”. Negara membuka selebar-lebarnya kesempatan investasi, baik oleh pengusaha transnasional ataupun nasional.
Pemerintah menggerakkan investasi demi melakukan pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumberdaya alam, khususnya mineral. Apakah ini berarti bahwa kebijakan terkait investasi asing di Indonesia tidak ada selama kepemimpinan Sukarno? Tidak demikian.
Pada kepemimpinan Sukarno juga sudah ada kebijakan yang dibuat untuk mengatur investasi asing, tetapi kondisi pemerintahan yang sering berganti kabinet serta tentangan dari kalangan komunis menjadikan kebijakan itu tidak bisa berjalan (Historia).
Pasca tragedi berdarah 1965, beberapa ekonom Universitas Indonesia seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Subroto, dan Muhammad Sadli diminta membantu Suharto untuk mendesain kebijakan pemulihan ekonomi. Salah satu produk yang mereka hasilkan adalah Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) No 1 Tahun 1967.
Berbekal UU inilah, Suharto menandatangani “kontrak karya” antara pemerintah RI dan Freeport Sulphur Incorporated AS untuk mengeksploitasi emas dan tembaga di Irian Jaya (sekarang Papua). Kontrak karya itu sekaligus menjadi penanda masuknya pemodal asing dalam kehidupan ekonomi dan politik Indonesia.
Semangat utama dari UU PMA 1967 adalah liberalisasi ekonomi yang diasumsikan bisa berdampak baik kepada proses pembangunan Indonesia. Karakteristik utama liberalisasi ekonomi adalah memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada swasta internasional dan nasional untuk berinvestasi dalam sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.
Meskipun demikian, negara tidak membebaskan sepenuhnya proses ekonomi tersebut. Mereka tetap mengontrol melalui peraturan-peraturan yang selalu dikatakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Inilah yang menjadikan sistem ekonomi Indonesia menjadi liberal tetapi tetap diarahkan oleh rezim.