Pada masa itu, mayoritas aparat pemerintah tidak ada yang mempersoalkan penyelewengan keuangan dan kebijakan yang dilakukan Suharto. Mayoritas tidak ada pula yang berani menolak kebijakan Suharto dan keinginan keluarga Cendana dan kroni-kroninya, meksipun aktivitas bisnis mereka merugikan rakyat kebanyakan (Detik).
Salah satu kasus yang sangat merugikan petani adalah Keppres No 20/1992 tentang tata niaga cengkeh. Dalam Keppres tersebut diatur agar petani harus menjual cengkeh ke Koperasi Unit Desa (KUD) untuk kemudian dijual ke BPPC. Adapun yang bermain dalam keputusan ini adalah Tommy Suharto.
Pemerintah saat itu menetapkan harga cengkeh dengan Inpres No 1/1992 sebesar Rp 7.900 dan Rp 6 ribu untuk setiap kilogramnya. Pemerintah kemudian mengubah harga cengkeh berdasarkan Inpres 4\/1996 sebesar Rp 8 ribu setiap kg. Kebijakan ini sangat merugikan petani karena mereka tidak bisa bernegosiasi untuk memasarkan hasil panen mereka untuk mendapatkan hasi maksimal
Rezim Suharto sangat lihai dalam mengelola isu-isu yang dikategorikan bisa mendegradasi kepercayaan publik. Seingat saya, dari SD hingga SMP, saya tidak pernah mendengar dan membaca istilah korupsi, kolusi, ataupun nepotisme. Ini merupakan mekanisme kultural untuk menghindari penciuman publik terhadap ketidakberesan yang dilakukan penguasa.
Apa yang saya baca dari koran adalah istilah “kesalahan prosedur”, “kesalahan administrasi”, “kesalahan penghitungan”, dan “penyalahgunaan wewenang”. Wacana-wacana tersebut merupakan bentuk penghalusan bahasa terhadap ketidakberesan dalam hal KKN yang dilakukan rezim Orba.
Sanksi hukumnya juga tidak sedahsyat sekarang. Hal yang sangat umum adalah mutasi jabatan untuk para pejabat yang ketahuan melakukan tindakan-tindakan indispliner serta terindikasi merugikan keuangan negara. Istilah dan wacana KKN, meskipun benar-benar terjadi, tidak diperkenankan menjadi populer di ruang publik.
Mereka diposisikan sebagai liyan yang harus dikendalikan dan dimarjinalisasikan dan kalau perlu disingkirkan karena bisa menganggu integritas nasional dan stabilitas politik yang sekaligus mengganggu kekuasaan rezim Suharto.
Apa yang juga tidak dimunculkan dalam ruang pendidikan, media massa, dan industri budaya di masa rezim Orba berkuasa adalah kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan rezim Suharto. Para guru tercinta tidak pernah bercerita bahwa Suharto pernah terlibat dalam tindakan pelanggaran HAM berskala besar.
Karena mereka juga sudah dikondisikan agar tidak pernah menyampaikan persoalan itu. Samahalnya mereka tidak diperkenankan berbicara tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Padahal kalau mau menelusuri dari berita-berita kontemporer, dengan mudah kita akan temukan deretan “dosa besar” Suharto.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), pada tahun 2016, di tengah-tengah usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Suharto, mengidentifikasi 10 dosa besar si diktator (Kompas).
Pertama, kasus Pulau Buru 1965-1966 dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di mana sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) melalui keputusan Presiden Nomor 179/KOTI/65, Suharto diduga telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke Pulau Buru.