Bagi warga yang sudah meyakini keunggulan Orba, sekecil apapun masalah yang mereka hadapi di masa-masa pasca Reformasi akan dibandingkan dengan masa-masa Suharto; seolah-olah di masa Sang Jendral Besar tidak ada masalah serius.
Singkatnya, kepemimpinan Suharto di masa Orba digambarkan sebagai contoh sempurna dari bagaimana seorang presiden seharusnya memimpin Indonesia dengan beragam potensi dan permasalahannya.
Tidak mengherankan kalau beberapa tahun terakhir mulai dihembuskan mulai berkembang kerinduan terhadap kepemimpinan gaya Suharto yang tegas tetapi (dikampanyekan) bisa menjamin kesejahteraan rakyat. Kerinduan tersebut diwujudkan dalam tulisan di bak truk hingga meme bergambar Suharto dengan tulisan “Isek Enak Jamanku Toh?” di media sosial.
Apa yang mengerikan dari penyebaran wacana kejayaan Orba tersebut adalah adanya usaha untuk menghilangkan bermacam tindakan otoriter-koruptif yang merugikan manusia-manusia Indonesia selama puluhan tahun.
Melihat fakta tersebut, tulisan ini akan menghadirkan pembacaan refleksif-personal terhadap peristiwa-peristiwa yang saya alami di masa anak-anak hingga mahasiswa.
Untuk menjabarkan ragam peristiwa yang merupakan dampak dari mekanisme kultural rezim Orba, saya akan menggunakan kerangka teoretis wacana Foucauldian (Foucault, 1981, 1984, 1998, 20013) dan hegemoni Gramscian (Gramsci, 1981; Boggs, 1984; Boothman, 2008; Howson, 2008; Fontana, 2008) dengan alur berikut.
Semua wacana terkait kepemimpinan dan kebaikan Suharto serta wacana kebangsaan dan kebudayaan nasional merupakan “formasi diskursif” yang membentuk “rezim kebenaran” yang memengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat Indonesia, khususnya dalam memosisikannya sebagai figur pemimpin ideal.
Penyebaran wacana-wacana tersebut memunculkan pengetahuan yang membaikkan rezim dan meniadakan wacana-wacana terkait pelanggaran HAM ataupun praktik korupsi yang melibatkan keluarga dan kroni-kroninya di kalangan pengusaha.
Wacana-wacana tersebut disebarluaskan melalui aparatus yang menjadikan masyarakat luas tidak mendapatkan informasi terkait keburukan rezim dan hanya mendapatkan informasi tentang kebaikannya. Pada titik itulah, konsensus akan dibentuk dan rakyat pun bisa memberikan kesepakatan dukungan politik untuk rezim Suharto.
Saya tidak mengatakan bahwa mekanisme kultural tersebut tanpa melibatkan tindakan opresif. Perlu dicatat tindakan opresif negara tetap dihadirkan melalui beberapa peristiwa berdarah, pencekalan, dan lain-lain, demi untuk memberikan efek jera ke rakyat.
Analisis Foucauldian juga membantu untuk menelaah perkembangan diskursif saat ini di mana beberapa politisi mewacanakan untuk mengusung kejayaan Orba. Tujuan utama tulisan ini adalah memberikan penjelasan tentang bagaimana beroperasinya kekuasaan yang dibangun dengan fondasi moralitas dan budaya ternyata menutupi tumpukan keburukan dan kebiadaban yang sebenar-benarnya.