Dengan kata lain, penggunaan nilai-nilai keindonesiaan sebagai patokan dalam berkebudayaan punya misi khusus untuk menghadapi pengaruh budaya asing yang mulai berkembang sejalan dengan tumbuhnya budaya konsumen. Kebijakan pemerintah Indonesia ini, ternyata, sejalan dengan kebijakan serupa yang diambil oleh beberapa negara Asia Tenggara.
Jones (2012: 153) memaparkan bahwa penyebaran budaya konsumen dan cepatnya pergerakan informasi yang berkaitan dengan barang dan jasa kapitalis memunculkan kekhawatiran di antara pemerintah nasional.
Pemerintah Singapura, Malaysia, Indonesia, Cina, dan Burma melawan perubahan budaya dan pesan politik dan sosial terkait yang diduga disebarluaskan oleh kapitalisme internasional dengan wacana yang disebut “nilai-nilai Asia” yang menekankan kerja keras, nilai keluarga, penghormatan terhadap penguasa, tanggung jawab sosial, disiplin, dan dukungan warga negara terhadap pemimpin.
Atas nama melestarikan nilai-nilai Asia, negara mengkonsolidasikan kekuatan politik dengan mengarahkan oposisi populis melawan Sang Barat. Mereka menjalankan kontrol politik dengan membatasi kebebasan pers dan hak asasi manusia dengan melabeli mereka sebagai “Barat”. Dengan demikian, pemerintah mendefinisikan mereka sebagai yang bertentangan dengan cara hidup Asi
Tidak mengherankan, di Indonesia, melalui pendidikan, seminar, dan banyak penelitian, pemerintah menggiatkan nilai-nilai keindonesiaan sebagai bagian dari nilai-nilai Asia yang tampak memperkuat budaya lokal dan budaya nasional.
Namun, kita tidak boleh lupa, bahwa target sebenarnya adalah terjaganya kekuasaan karena masyarakat diberikan acuan-acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yang tidak menimbulkan peluang resistensi terhadap pemerintah.
Beragam budaya daerah diteliti oleh para dosen atau peneliti dari universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia, dengan tujuan mengungkapkan nilai-nilai unggul yang bisa mendukung pengembangan dan penguatan budaya nasional.
Dalam keadaan demikian, praktik pelestarikan kearifan lokal, kesenian, ritual, dan bentuk-bentuk budaya daerah lainnya tidak pernah dimaksudkan untuk memberikan kemampuan ideologis-komunal bagi para pelakunya. Sebaliknya, pelestarian tersebut menjadikan budaya daerah tampai ramai di permukaan, tetapi sebetulnya sudah kehilangan mayoritas kekuatan ideologisnya.
Ritual agraris, misalnya, hanya diapahami sebagai ritual yang patut dirayakan, tetapi kemanfaatannya untuk lingkungan hanya dicatat dalam penelitian. Padahal pada masa sebelumnya, kesenian rakyat mendapatkan porsi utama dalam menyampaikan kritik ataupun ajakan untuk perjuangan sosial.
Kampanye nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka jati diri dan kepribadian bangsa, dengan demikian, menjadi justifikasi politik untuk mempraktikkan kekuasaan otoriter guna merespoen kritik yang berasal dari kalangan demokratik-liberal (Jones, 2012: 154).
Apa yang menarik dicermati lebih lanjut adalah bagaimana rezim negara mentransformasikan hubungan rakyat dengan praktik budaya; ikatan ideologis perlahan-lahan dimarjinalkan untuk kemudian ditiadakan.