Mengatasi Ketakutan-ketakutan: Kampanye Budaya Bangsa
Penggiatan pembangunan di segala bidang kehidupan, tidak hanya memperkuat nilai dan aspek kapitalisme di tengah-tengah masyarakat, tetapi mulai juga menghadirkan wacana-wacana lain yang berbeda dari wacana resmi negara.
Hasrat untuk menikmati kebebasan dan gaya hidup berorientasi Barat menjadi begitu kuat di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat semakin populernya gaya hidup modern. Selain itu, pendidikan berorientasi Barat, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, mengantarkan aspek-aspek kemajuan berpikir berbasis rasionalitas, kebebasan, dan nalar kritis.
Menguatnya kebebasan berpikir dan berintak ala Barat inilah yang menjadikan rezim penguasa mengalami ketakutan dan kecemasan. Di tambah lagi semakin biasanya inteletual dan mahasiswa dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sebenarnya, bukan pseudo-democracy yang dijalankan rezim Suharto.
Menghadapi kondisi tersebut, rezim Suharto melakukan mekanisme-mekanisme kultural agar kehendak akan kebebasan dan demokrasi yang sebenarnya tidak terlalu berdampak kepada keberlangsungan kekuasaan mereka.
Mendeskripsikan budaya nasional sesuai dengan kehendak rezim negara merupakan salah satu mekanisme diskursif yang dibuat negara. Rezim Orde Baru memiliki arah dalam kebijakan pengembangan budaya nasional, sebagaimana dituangkan dalam REPELITA.
Pencantuman “kebudayaan nasional” sebagai bagian dari kebijakan pembangunan baru dimulai pada REPELITA II (1974-1979) dan dilanjutkan pada REPELITA sesudahnya. Wacana pengembangan budaya nasional merupakan rambu-rambu bagi setiap warga negara. Secara umum, kebudayaan nasional menurut cara pandang negara bisa dikerangkai dalam beberapa wacana berikut (Bappenas).
Pertama, budaya bangsa pada hakekatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan kultural sekaligus menjadi landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya.
Kedua, budaya Indonesia yang mencerminkan nilai luhur bangsa, harus dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, kepribadian bangsa, rasa harga diri dan kebanggaan nasional, kesetiakawanan nasional, dan jiwa kesatuan dan persatuan nasional.
Ketiga, tumbuhnya budaya nasional yang berkepribadian dan berkesadaran nasional dapat mencegah berkembangnya nilai-nilai kultural yang bersifat feodal dan kedaerahan yang sempit, sekaligus untuk menanggulangi pengaruh “budaya asing” yang negatif.
Apa yang kemudian diwacanakan oleh rezim negara adalah konsep “integrasi” yang menyatukan bermacam budaya daerah yang eksis di tanah air dalam sebuah bingkai besar bernama budaya nasional; sebuah semangat yang didasari kepentingan stabilitas politik pasca tragedi 1965.