Menjadi wajar kalau pada masa Orba konsep tepo sliro, tenggang rasa, dan toleransi menjadi formasi utama yang diproduksi secara massif, dari buku pelajaran, ucapan para pejabat, hingga Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dengan cara itu, rezim berusaha mengeliminir potensi kritik dan resistensi dari warga negara yang bisa mengganggu pembangunan.
Dengan konsep budaya nasional yang demikian, rezim Orba berusaha mengatasi kompleksitas permasalahan kultural, utamanya masuknya pengaruh negatif budaya modern yang sebenarnya menjadi orientasi kamajuan ekonomi dan berkembangnya sentimen kedaerahaan yang memunculkan-kembali kekuasaan feodal.Â
Dalam konteks demikian, budaya nasional, alih-alih menjadi kekuatan strategis pembangunan, menjelma sebagai kekuatan represif yang penuh dengan ambivalensi; saya menyebutnya ambivalensi berlapis.Â
Berbeda dengan konsep Bhabha (1994) tentang ambivalensi dalam memandang budaya kolonial/modern yang dicintai sekaligus dibenci, ambivalensi berlapis menunjukkan kerumitan pola pikir rezim negara dalam memahami kondisi-kondisi kultural yang berkembang seiring menguatnya semangat kemajuan dalam bentuk pembangunan nasional dan eksistensi budaya-budaya tradisional.Â
Di satu sisi, budaya tradisional yang sesuai dengan Pancasila diyakini sebagai resep mujarab bagi bangunan budaya nasional yang menunjukkan karakteristik bangsa serta bisa digunakan untuk menangkal hasrat-hasrat kebebasan individual. Di sisi lain, karakter kedaerahaan yang menghambat pembangunan dianggap subversif, sama seperti ajaran komunis.Â
Adapun, budaya modern yang mengusung aspek kemajuan pendidikan maupun ekonomi diposisikan sebagai rezim kebenaran melalui pembangunan, sedangkan aspek-aspek negatif yang bertentangan dengan kepribadian bangsa ditolak karena dianggap menganggu stabilitas negara.
Fungsi represif budaya nasional yang berkutat dalam ambivalensi berlapisnya sejatinya menunjukkan ketidakjelasan konsep budaya nasional karena hanya didasari kepentingan ekonomi politik penguasa.
Kleden (1988: 233-235) melihat timbulnya beberapa permasalahan terkait ketidakjelasan konsep tersebut. Pertama, kebudayaan tradisional dan kebudayaan baru, dibiarkan tumbuh bersama-sama, tetapi tanpa arah suatu kebijaksanaan untuk menghubungkan atau mengintegrasikan perkembangan keduanya dalam dialektika yang produktif.Â
Kedua, sejalan dengan ekspansifnya sektor modern yang menggeser sektor tradisional dalam kehidupan ekonomi, maka nilai-nilai kebudayaan modern, khususnya dalam aspeknya yang konsumtif dan permisif, menggeser pula nilai-nilai tradisional yang sebetulnya masih besar peranannya sebagai pembentuk identitas, kontrol sosial, dan kontrol moral.Â
Selain itu, ketidakjelasan konsep budaya nasional, di masa Orba membawa konsekuensi lanjut berupa kuatnya isu politik budaya nasional dibandingkan isu kebudayaan itu sendiri.Â
Tindakan atau ekspresi kultural apapun yang dianggap pemerintah yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan mengganggu stabilitas akan ditolak dan diberikan sanksi tegas; budaya nasional sebagai bentuk legitimasi kontrol politik.