Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Ritual dari Banyuwangi: Merayakan atau Memperkuat Identitas?

15 Januari 2023   08:11 Diperbarui: 18 Januari 2023   05:44 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang, Banyuwangi, Jawa Timur.(KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI) 

Perbedaan tafsir ini memang menjadi semacam "api dalam sekam" yang setiap saat bisa 'dibakar' dan 'diledakkan' sesuai dengan kepentingan politik pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Inilah celah dari mobilisasi keberbedaan identitas etnis yang bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik. 

Sementara, pihak komunitas sendiri sebenarnya tidak bermaksud demikian. Ritual Endhog-endhogan merupakan sinkretisme damai sekaligus siasat kultural-religi masyarakat Using terhadap dominasi agama Islam dalam kehidupan mereka. Mereka memang telah memeluk agama ini sejak era kolonial, tetapi tidak mau meninggalkan sepenuhnya warisan religi yang menjadi identitas komunal. 

Semestinya, dialog religi ini tidak harus dipahami secara sempit karena terdapat konteks historis yang melatarinya. Namun, kehadiran pihak-pihak yang mengaku memiliki tafsir paling benar terhadap Islam menjadikan kekuatan identitas ini rentan dan mudah dimanfaatkan untuk memobilisasi isu-isu partikular. 

Untungnya, masih terdapat kelompok Islam moderat, dalam hal ini Nahdlatul Ulama, yang menengahi permasalahan ini, sehingga persoalan tapekong tidak sampai menjadi konflik horisontal. 

Kegagalan dalam memaknai simbol-simbol yang diusung dalam ritual Endhog-endhogan merupakan kegagalan kultural yang diakibatkan oleh monopoli tafsir permukaan yang dilakukan oleh sekelompok warga berhaluan tekstual-dogmatis. Mereka cenderung melihat dari tampilan permukan dari ritual, tanpa mau memahami pemaknaan historis-filosofis yang diyakini oleh komunitas.

Suhalik, sejarahwan Banyuwangi, menjelaskan bahwa Endhog-endhogan merupakan ritual yang berkaitan erat dengan syiar Islam, khususnya NU, dan dakwah untuk memperkuat keimanan masyarakat Using. Ritual ini diawali pertemuan di Bangkalan antara Mbah Kyai Kholil, Pimpinan Ponpes Kademangan dengan KH Abdullah Fakih pendiri Ponpes Cemoro Balak, Songgon, Banyuwangi. 

Dalam pertemuan tersebut, Kyai Kholil mengatakan bahwa kembange Islam sudah lahir di nusantara (NU) yang dipersonifikasikan sebagai endhog (telur); kulit melambangkan kelembagaan NU, sedangkan isinya melambangkan amaliyah. 

Sepulang dari pertemuan, Kyai Fakih pun menyebarkan amanah tersebut dengan cara mengarak keliling kampung gedebog (batang) pisang yang telah dihias dengan tancapan telur dan bunga dengan disertai lantunan sholawat dan dzikir. Inilah cikal-bakal Endhog-endhogan.  

Masih menurut Suhalik, ritual ini juga mengandung makna filosofis tinggi. Endhog (telur) memiliki tiga lapisan: kuning, putih, dan cangkang. Ketiga lapis telur tersebut merupakan bahasa simbolik. Pertama, kuning telur merupakan embrio dari sebuah proses kehidupan. 

Dalam bagian ini terdapat protein tinggi, maka dapat di ibaratkan sebagai ihsan dalam kehidupan. Kedua, putih telur yang berfungsi sebagai pembungkus dan pelindung kuning telur merupakan simbol dari Islam. Ketiga, cangkang ibarat iman dalam kehidupan. 

Sementara, ditancapkannya telur di pohon pisang merupakan simbol dari manusia yang mempunyai qolbu yang dapat tancapkan apa saja, kebaikan ataupun keburukan. Maka iman, Islam dan ihsan adalah harmonisasi risalah yang di bawa Nabi Muhammad SAW, yang jika di tancapkan pada diri manusia akan menghasilkan manusia sesuai dengan kepribadian Beliau. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun