Terlepas dari kebenaran mistik yang diyakini masing-masing komunitas, perbedaan tersebut, sekali lagi menegaskan adanya kutub yang saling beoposisi di antara komunitas Using, meskipun mereka berasal dari satu keturunan. Lebih jauh lagi, perbedaan tersebut juga berimplikasi pada nilai atraktif dari perhelatan ritual yang mereka laksanakan.Â
Kalau ritual digelar bersama-sama, bisa dipastikan, pengunjung akan terbelah ke dalam dua kutub pertunjukan, sehingga akan mengurangi kemeriahaan di masing-masing desa. Selain itu, perbedaan tersebut juga menjadi bentuk penegasan identitas yang meskipun serupa tetapi tidak sama.Â
Di Kemiren terkenal dengan ritual Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Semua ritual itu merupakan warisan budaya agraris yang masih diyakini dan dijalankan oleh komunitas Using. Ritual Ider Bumi ditandai dengan diaraknya Barong yang dianggap keramat oleh masyarakat Kemiren. Barong ini diarak keliling desa Kemiren.Â
Sementara, ritual Tumpeng Sewu sebenarnya berakar dari tradisi Barikan, yakni ritual untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan dengan membawa nasi di tempat pelaksanaan acara; biasanya di jalan utama desa. Karena tumpeng berisi makanan yang dibawa oleh warga jumlahnya sangat banyak, maka ritual ini dinamai Tumpeng Sewu.Â
Sama dengan ritual lainnya, doa dan rasa syukur menjadi kekuatan yang menggerakkan warga Kemiren untuk terlibat dalam ritual ini. Di balik penamaan ini sebenarnya terselip sebuah kecerdasan tokoh adat Kemiren untuk membesarkan kesan ritual ini dalam konteks pariwisata budaya mengingat desa ini merupakan Desa Wisata Adat Using.
Mereka menginginkan agar ritual adat yang dulunya tidak ada hubungan sama sekali dengan agenda wisata juga didatangi para pengunjung. Maka, para warga lelaki yang hadir dalam Tumpeng Sewu disarankan untuk mengenakan pakaian seragam (kombinasi sarung hijau bergaris biru tua, baju hitam, dan kopyah/songkok hitam).Â
Tentu saja, pakaian seperti itu lebih menarik dan atraktif secara visual dari pada pakaian sehari-hari, sehingga para pengunjung yang datang tidak hanya mendapatkan suguhan makanan, tetapi juga keseragaman pakaian yang menarik untuk dilihat dan difoto.
Dalam konteks komunal, ritual bukan sekedar ungkapan syukur dan doa kepada kekuatan adikodrati yang berada di luar jangkauan nalar masyarakat. Lebih dari itu, di dalam acara ritual, anggota komunitas desa menemukan momen di mana mereka bisa bertemu, membawa sesajen, memanjatkan doa, dan merasakan kebersamaan selama sehari atau beberapa hari.Â
Dengan kata lain, mereka bisa menegaskan sebuah tanda bahwa masih ada komunalisme yang dipelihara di tengah-tengah gerak individual masing-masing anggota dalam menjalani kehidupan modern. Mereka boleh mencari rezeki ekonomi, baik melalui kerja pertanian, wiraswasta, maupun birokrasi.Â