Ketika hal itu terjadi, generasi penerus Tengger akan semakin sedikit dan lambat-laun akan mengalami kepunahan. Tentu, hal itu sangat dihindari oleh sesepuh Tengger, sehingga mereka harus bersiasat dengan memilih agama yang disahkan pemerintah.
Mengkonversi keyakinan religi mereka menjadi Hindu Dharma sebagaimana yang dipraktikkan oleh masyarakat Bali merupakan ujian berat terhadap identitas religi dan budaya Tengger.Â
Bagaimana tidak, para dhukun pandita yang biasanya membaca mantra-mantra ritual harus belajar juga ayat-ayat dalam kitab Weda serta mengajarkan pemahaman mereka masyarakat.Â
Demikian pula, tambahan ritual yang harus disesuaikan dengan ajaran Hindu, seperti peribadatan di Pura atau di Wihara bagi pemeluk Buddha. Mereka harus berbagi tempat suci, tidak hanya di Pedhanyangan tetapi juga di Pura.
Namun demikian, mereka memiliki kesadaran komunal yang terus dibangun oleh para dhukun bahwa pilihan mengkonversi agama bukanlah semata-mata kekalahan oleh agama mayoritas, tetapi sebuah siasat eksistensial untuk tetap meng-ada dan menjadi Tengger di tengah-tengah praktik kekuasaan yang represif dan siap membunuh siapa saja yang dianggap melakukan perlawanan.Â
Untungnya, terdapat beberapa aspek ritual dan keyakinan religi yang sama antara ‘agama Tengger’ dan Hindu atau Buddha, sehingga masyarakat bisa beradaptasi, meskipun dilandasi keterpaksaan.
Setelah mereka memeluk agama Hindu, beberapa penyesuaian peribadatan dilakukan dengan memasukkan beberapa doa dan ritual seperti pemeluk Hindu di Bali. Namun, sekali lagi, orang Tengger tidak mau sepenuhnya memeluk Hindu sesuai dengan tradisi orang Bali. Mereka tetap mempertahankan ritual dan mantra warisan Syiwa-Sugata yang sudah bercampur dengan adat mereka.Â
Artinya, penerimaan terhadap agama mayoritas orang Bali ini bukanlah penerimaan sepenuhnya, tetapi penerimaan yang bersifat lentur dengan tetap menakomodasi kebiasaan-kebiasan religi lokal. Tentu saja, bukan persoalan mudah bagi masyarakat Tengger untuk mempraktikkan ritual dan doa serta membaca kitab yang diberikan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, proses konversi tersebut bisa diterima, walaupun sebagian besar ritual dan mantra Tengger tetap dijalankan.
Seiring kembalinya beberapa generasi muda Tengger dari menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Hindu Dharma di Bali, pada era 1990-an sampai dengan 2000-an muncul gerakan untuk melakukan purifikasi ajaran Hindu di wilayah ini. Namun, gerakan tersebut bisa diredam oleh para dhukun pandita yang tetap ingin mempertahankan sistem dan keyakinan religi warisan para leluhur.Â
Mereka meyakini bahwa ketika ajaran leluhur ditinggalkan, maka masyarakat Tengger akan mendapatkan musibah, karena wilayah Bromo merupakan tanah hila-hila, tanah suci/keramat, yang berbeda dengan wilayah Bali. Itulah mengapa sampai sekarang tidak ada tradisi ngaben di masyarakat Tengger.Â